Page 205 - A Man Called Ove
P. 205
A Man Called Ove
Dan ketika Sonja meraih lengan bawah Ove yang setebal
pahanya, lalu menggelitikinya hingga wajah muram bocah
laki-laki itu merekah dalam senyuman, rasanya itu seperti
peristiwa pecahnya balutan gips yang menyelubungi sebuah
perhiasan indah. Ketika hal ini terjadi, rasanya seakan ada
sesuatu yang mulai menyanyi di dalam diri Sonja. Dan
momen-momen itu hanya menjadi miliknya sendiri.
Sonja tidak marah kepada Ove ketika mereka makan
malam untuk kali pertama, ketika Ove mengaku telah
berbohong soal wajib militernya. Tentu saja, Sonja marah
terhadapnya pada banyak sekali kesempatan setelah itu, tapi
bukan pada malam itu.
“Konon, lelaki terbaik lahir dari kesalahan mereka
sendiri, dan mereka sering kali menjadi lebih baik setelahnya,
melebihi apa yang bisa mereka capai seandainya tidak pernah
melakukan kesalahan,” kata Sonja lembut.
“Siapa yang bilang begitu?” tanya Ove sambil memandang
tiga set peralatan makan di depannya, di meja, seakan
dia sedang memandang kotak yang baru saja dibuka dan
seseorang berkata, “Pilih senjatamu.”
“Shakespeare,” jawab Sonja.
“Baguskah dia?” tanya Ove.
“Dia luar biasa.” Sonja mengangguk seraya tersenyum.
“Aku belum pernah membaca buku mengenainya,”
gumam Ove sambil memandang taplak.
“Buku karyanya,” kata Sonja membetulkan, sambil
memegangi tangan Ove dengan penuh kasih.
200