Page 269 - A Man Called Ove
P. 269

A Man Called Ove

                “Dia tidak mati,” ocehnya di sepanjang koridor.
            “Berhentilah bertingkah laku seakan dia sudah mati!”

                Tak seorang pun di rumah sakit berani melakukan
            kesalahan itu lagi.
                Pada hari kesepuluh, ketika hujan menampar-nampar
            jendela dan radio membicarakan badai terburuk dalam
            beberapa dekade, Sonja membuka mata sedikit dengan
            susah payah, melihat Ove, lalu memasukkan tangan ke dalam
            genggaman Ove. Menyelubungi telunjuknya dengan telapak
            tangan Ove.

                Lalu, Sonja tertidur dan terlelap sepanjang malam.
            Ketika terbangun kembali, para perawat menawarkan diri
            untuk memberi tahu Sonja, tapi dengan tegas Ove bersikeras
            agar dialah yang memberitahunya. Lalu, dia menceritakan
            segalanya dengan suara tenang sambil membelai tangan
            Sonja dalam genggamannya, seakan tangan itu sangat, sangat
            dingin. Dia bercerita mengenai sopir yang berbau anggur,
            bus yang berbelok menabrak pembatas jalan, dan tabrakan
            itu. Bau karet terbakar. Suara berdebum yang memekakkan
            telinga.
                Dan, mengenai seorang anak yang kini tidak akan pernah
            lahir.
                Dan Sonja menangis. Keputusasaan panjang yang tak
            terhiburkan, yang berteriak, merobek, dan mengoyak-
            ngoyak mereka berdua ketika jam-jam yang tak terhitung
            banyaknya itu berlalu. Waktu, kedukaan, dan kemarahan
            mengalir serempak dalam kegelapan pekat berkepanjangan.
            Saat itulah, Ove tahu bahwa dia tidak akan pernah memaafk an



                                       264
   264   265   266   267   268   269   270   271   272   273   274