Page 35 - A Man Called Ove
P. 35
A Man Called Ove
dengan sedikit jengkel. “Ayo, Nasanin,” imbuhnya sambil
menggandeng tangan adiknya dan berjalan pergi, setelah
melayangkan tatapan marah kepada Ove.
Ove mengamati ketika mereka berjalan pergi. Dia
melihat perempuan hamil berdiri di ambang pintu
rumahnya, tersenyum kepadanya sebelum kedua gadis itu
berlari memasuki rumah. Si gadis tiga tahun berbalik dan
melambaikan tangan dengan riang kepada Ove. Ibunya juga
melambaikan tangan. Ove menutup pintu.
Kembali dia berdiri di lorong. Menatap wadah hangat ayam
dengan nasi dan safron itu seakan memandang kotak berisi
nitrogliserin. Lalu, dia pergi ke dapur dan memasukkan
wadah itu ke kulkas. Bukannya dia terbiasa menyantap sisa
makanan apa pun pemberian anak-anak asing tak dikenal di
ambang pintu rumahnya. Namun di rumah Ove tak seorang
pun membuang-buang makanan. Itu prinsip.
Ove berjalan ke ruang duduk. Memasukkan tangan ke
saku. Mendongak memandang langit-langit. Berdiri di sana
cukup lama dan memikirkan baut dinding-beton macam apa
yang paling cocok untuk pekerjaan itu. Dia berdiri di sana
sambil menyipitkan mata, hingga matanya mulai terasa sakit.
Dia menunduk dengan sedikit kebingungan, memandang
arloji penyoknya. Lalu dia memandang ke luar jendela lagi
dan menyadari senja sudah tiba. Dia menggeleng pasrah.
Kau tidak bisa memulai pengeboran setelah hari gelap,
semua orang tahu itu. Dia akan terpaksa menyalakan semua
lampu, dan tak seorang pun tahu kapan lampu-lampu itu bisa
30