Page 39 - A Man Called Ove
P. 39
A Man Called Ove
Istrinya juga tidak menjawab.
Ove mengangguk, kembali menendang tanah. Dia
tidak bisa memahami orang yang ingin pensiun. Bagaimana
mungkin seseorang bisa menghabiskan sepanjang
hidupnya merindukan hari ketika dia menjadi tak berguna?
Berkeliaran, menjadi beban masyarakat, lelaki macam apa
yang menginginkan hal itu? Tinggal di rumah, menanti
kematian. Atau, yang lebih buruk lagi: menunggu mereka
datang menjemputmu dan memasukkanmu ke panti jompo.
Bergantung kepada orang lain untuk pergi ke toilet.
Ove tidak bisa memikirkan sesuatu pun yang lebih buruk.
Istrinya sering menggodanya, mengatakan dialah satu-satunya
lelaki yang diketahuinya lebih suka terbaring di peti mati
dibandingkan bepergian dengan layanan mobil van untuk
mereka yang berkursi roda. Dan mungkin istrinya benar juga.
Ove bangun pukul enam kurang seperempat. Membuat
kopi untuk istrinya dan dirinya sendiri, pergi berkeliling
mengecek semua radiator untuk memastikan istrinya tidak
menaikkan suhu secara diam-diam. Semua radiator itu tidak
berubah semenjak kemarin, tapi dia menurunkan suhu sedikit
rendah lagi, sekadar berjaga-jaga. Lalu dia mengambil jaket
dari pengait di lorong, satu-satunya dari enam pengait
yang tidak dipenuhi pakaian istrinya, dan berangkat untuk
melakukan inspeksi.
Hari mulai dingin, pikirnya mengamati. Hampir tiba
saatnya untuk mengganti jaket musim gugur biru tuanya
dengan jaket musim dingin biru tuanya.
34