Page 92 - Bidadari-Bidadari Surga-TereLiye
P. 92

www.rajaebookgratis.com





                   Menyukai apa-adanya. Mereka hanya menyukai tampilan fisik dan wajah. Seperti seekor
               lebah tertarik atas indahnya kelopak bunga. Seperti seekor rubah yang tertarik pasangannya
               karena bau tubuhnya. Maka hewan-lah sejatinya perangai mereka. Beruntung, tidak ada yang
               terlalu memperhatikan tatapan benci Yashinta.
                   Perkebunan strawberry malam itu terang benderang.
                   Kak  Laisa  sama  seperti  saat  kelulusan  Dalimunte,  Ikanuri  dan  Wibisana,  merayakan
               kelulusan  Yashinta  di  hamparan  halaman  rumah  pangung.  Mengundang  tetangga.  Semua
               berkumpul.  Meriah.  Meja-meja  panjang  tersusun  rapi.  Kursi-kursi  dipenuhi  wajah  riang.
               Makanan terhampar.... Hingga pukul sembilan ketika anak-anak mulai lelah berlarian, ketika
               malam beranjak matang, keramaian mulai berkurang. Tetangga satu persatu beranjak pulang.
               Menatap Mamak dan Kak Laisa dengan tatapan kagum dan hormat. Lihatlah, anak-anak di
               keluarga ini berhasil menyelesaikan sekolah tingginya.Sarjana, Dalimunte malah lulusan S3,
               doktor, sekolah luar negeri. Tidak pernah terbayangkan, anak-anak yatim, yang sejak kecil
               ditinggal Babak karena mati diterkam harimau sekarang sudah besar-besar, berpendidikan.
                   Wak Burhan yang terlihat paling bahagia. Menebar senyum. Menepuk bahu Dalimunte
               berkali-kali, berkata lebar,
               " Aku sudah menduga. Aku sudah menduganya dari dulu!"

               31
               ISTRI KEDUA
               "HALLO PROFESSOR, kami sudah di Singapore. Ya. Transit sebentar. Lima belas menit
               lagi  langsung  ke  Jakarta.  Apa?  Oh,  ?sudah!  Tiketnya  sudah  diurus  staf  pabrik....  Kami
               berangkat ke Ibukota provinsi sore ini juga.... Jika tidak ada delay, bilang Mamak kami akan
               tiba nanti malam, mungkin menjelang tengah malam. Apa? Jemputan? Tidak usah, aku akan
               pakai mobil modifikasi bengkel di sana saja. Itu lebih cepat. Ya? Lebih cepat, Professor—"
               Ikanuri tetap saja  harus  berteriak-teriak,  meski tidak ada  lagi  badai  seperti di Pegunungan
               Alpen Swiss, semalam. Ruang tunggu bandara internasional Singapore itu ramai. Bising lalu-
               lalang  penumpang  sudah  macam  deru  hujan  deras  saja,  belum  lagi    teng-tong-teng
               pengumuman.
                   Mereka  ahirnya  tiba  setelah  penerbangan  non-stop  dua  belas  jam:  Perancis-Singapore.
               Sudah  siang.  Matahari  tiba  di  garis  tertingginya.  Setelah  hampir  sehari  semalam  tidak
               menyentuh  makanan,  Wibisana  memaksakan  diri  mampir  ke  salah  satu  kedai  fast-food
               bandara. Sambil  menunggu pesawat berikutnya. Wajah mereka kuyu, kurang istirahat. bit lag
               pula. Bolak-balik melangkahi perbedaan waktu hampir belasan  jam membuat pusing kepala.
               Merusak  bio-ritme.  Rambut  semrawut.  Kemeja  berantakan.  Malah  salah  satu  kaki  celana
               panjang Ikanuri tergulung sembarangan. Habis shalat dhuzhur,  lupa dirapikan. Meletakkan
               tas laptop dan barang bawaan sembarang di sekitar meja makan.
               "Tidak.  Aku  tidak  tahu....  BELUM!  Apa?  Aku  sudah  puluhan  kali  menelepon  HP  satelit
               Yashinta. Dasar sialan. Kemana pula anak ini sekarang.... Jangan. Jangan bilang Kak Laisa
               kalau HP Yashinta tidak  bisa dihubungi. Ya  Allah,  itu  akan  membuatnya  berpikiran  yang
               tidak-tidak. Kau tidak boleh bilang.... Tentu saja aku sekarang ikut cemas, Profesor! Ikanuri
               mengusap dahi. Sedikit sebal dengan intonasi suara Dalimunte.
                   Pelayan  mengantarkan  kue  donut  besar-besar.  Wibisana  yang  sedang  menatap  adiknya
               bicara  via  telepon  genggam  dengan  Dalimunte  di  perkebunan  strawberry  mengalihkan
               tatapan.  Aroma  kue  itu  cukup  mengundang,  meski  mereka  tetap  tidak  berselera  makan.
               Menelan ludah. Kalau saja ada Juwita, Delima, dan Intan, ketiga anak-anak nakal itu pasti
               bisa menghabiskan menu ini dalam sekejap,  satu  menit. Itu bahkan sudah termasuk waktu
               yang dibutuhkan untuk bertengkar. Berebutan.
               "Tadi aku sudah menelepon Goughsky. Dia juga kebetulan sedang di sekitar Semeru. Biar dia
               yang  mencari  kemana  anak  itu.  Apa?  Semoga  tidak....  Semoga tidak,  Dali.  Yashinta  pasti
   87   88   89   90   91   92   93   94   95   96   97