Page 94 - Bidadari-Bidadari Surga-TereLiye
P. 94

www.rajaebookgratis.com





               "Aku mencintai isteriku. Amat mencintainya. Jika saja ia bisa melahirkan anak-anak kami....
               Aku sungguh tidak pernah bisa membayangkan harus menikah lagi—"
                   Pasangan  itu  saling  menggenggam  tangan.  Dalimunte  tersenyum  menatapnya.  Ini
               mungkin  jalan  keluar  yang  baik.  Menyelesaikan  masalah  keluarga  mereka,  sekaligus
               menyelesaikan masalah Kak Laisa. Wak Burhan benar, jika ada alasan yang baik, tidak selalu
               poligami itu buruk.
               "Aku akan mencintai Laisa dengan baik, Dali. Akan menjadi suami yang adil. Meski amat
               susah  membayangkan  harus  membagi  cintaku....  Semoga  ia  tidak  keberatan  menjadi  istri
               kedua....  Semoga  ia  memberi  kesempatan  padaku  untuk  belajar  dalam  proses  sulit  ini.  Ia
               sungguh  pilihan  yang  baik.  Isttriku  menyetujuinya,  dan  aku  sudah  berjanji  kepada  istriku,
               akan  membuat  pernikahan-pernikahan  kami  bahagia....  Bilang  kepada  Mamak  dan  Laisa,
               kami akan datang memperkenalkan diri minggu depan. Kami akan melamar Laisa."
                   Maka Dalimunte, demi mendengar kalimat hebat tersebut, segera kembali ke perkebunan
               strawberry.  Sekarang  menyelesaikan  bagian  penting  berikutnya.  Menjelaskan  kepada  Kak
               Laisa tentang: posisi istri kedua.

                   Hamster  belang  itu  mengangkat-angkat  kepalanya.  Berjinjit.  Kedua  kaki  depannya
               memegang  erat-erat buah  strawberry  matang. Menggigit. Menjilat. Lucu sekali  melihatnya
               sibuk menaklukkan buah merah tersebut. Intan duduk di sebelah Wak Laisa, tertawa. Juga
               juwita dan Delima. Ranjang besar itu besar, menyisakan ruang yang cukup buat berempat.
               "Wawak sudah mendingan?"
               Sejenak  Juwita  menolehkan  kepala,  menatap  Wak  Laisa  yang  ikut  tersenyum.  Menonton
               kelakuan Rio, hamster belang Intan.
                   Laisa  mengangguk.  Pagi  ini  ia  merasa  lebih  kuat  (seperti  dulu,  meski  fisiknya  sakit,
               semangat  yang  tinggi  selalu  memberikan  kekuatan,  kehadiran  tiga  sigung  kecil  ini  juga
               membuat  Kak  Laisa  kembali  merasa  kuat,  meski  entah  hingga  kapan).  Bosan  jadi  pusat
               perhatian, dan sebal karena buah strawberry tidak mudah digigit, hamster itu melempar buah
               strawberry sembarangan, lantas dengan cuek loncat turun dari tempat tidur,
               "Wawak haus? Intan ambilin minum buat Wawak, ya?"
                   Wak  Laisa  mengangguk.  Gadis  kecil  sembilan  tahuti  ini  turun,    melangkah  keluar
               ruangan.  Eyang Lainuri duduk di kursi tengah ruangan, juga Dalimunte. Cie Hui, Wulan dan
               Jasmine ada di ruang belakang, mengurus dapur dan sebagainya. Tetangga masih berkumpul.
               Cemas  menunggu  kabar  sakitnya  Laisa.  Mereka  belum  mengaji  yasin  lagi.  Kabar
               membaiknya  Laisa  membuat  situasi  rumah  sedikit  riang>  Cie  Hui  memutuskan  membuat
               makan besar. Dibantu anak gadis tetangga lainnya. Tetangga sekitar yang berkumpul sejak
               dua  hari  lalu  pasti  tidak  sempat  masak  di  rumah.  Mereka  bahkan  menghentikan  aktivitas
               sehari-hari.
               "Yee, Kak Intan ngapain pula  bawa gelang-gelang  ini?  Juwita dan Delima  hampir  berseru
               berbarengan  saat  Intan  kembali  sambil  membawa  nampan  air  minum  (  dengan  beberapa
               gelang "Safe The Planet"-nya).
               "Nih, buat kalian—" Intan melotot, menyerahkan dua gelang.
               "Mending gratis."
               Mulut  Juwita  kumur-kumur  protes.  Orang  dibayar  lima  ribu  saja  mereka  tetap  tidak  mau
               pakai. Lah, ini justru disuruh bayar lima ribu. Delima ikut-ikutan malas menerimanya. Tapi
               daripada  nanti  Kak  Intan  marah-marah,    terus   nyubit    perut.  Mending  ngalah.  Nanti  kan
               sembunyi-sembunyi bisa dilepas.
                   Kak Laisa yang berbaring bersandarkan bantal tertawa kecil. Juwita dan Delima benar-
               benar  mirip  kedua  ayahnya.  Dulu  meski  bandel,  melihat  kelakuan  Ikanuri  dan  Wibisana
               sungguh memberikan semangat hidup baginya. Meski keras kepala, selalu membantah, kedua
   89   90   91   92   93   94   95   96   97   98   99