Page 99 - Bidadari-Bidadari Surga-TereLiye
P. 99

www.rajaebookgratis.com





               masing.  Maka  memang  tidak  perlu  lagi  pembicaraan  formal.  Semuanya  berjalan  santai.
               Mengalir.
               Apa adanya.
                   Sekali  dua,  Kak  Laisa  memberanikan  diri  melirik  rekan  kerja  Dalimunte.  Memerah
               mukanya. Bersitatap satu sama lain. Lebih tersipu lagi. Ikanuri dan Wibisana, kabar baiknya
               sedang  alim,  mereka  tidak  sibuk  menggoda  Kak  Laisa  yang  tersipu.  Dalimunte  hanya
               tersenyum lega, Kak Laisa akhirnya berkesempatan merasakan romantisme perasaan itu.
                   Selepas  shalat  isya,  lepas  menghabiskan  makan  malam  di  depan,  sambil  memandang
               hamparan  perkebunan  strawberry  yang  remang  oleh  cahaya  lampu,  rekan  riset  Dalimunte
               akhirnya  menyampaikan  maksud  dan  tujuannya  dengan  serius.  Menatap  wajah  Kak  Laisa
               sambil tersenyum,
               "Laisa  mungkin  sudah  mendengar  beberapa  hal  tentang  aku,  sudah  tahu  beberapa  tabiat,
               perangai....  Hari  ini  aku  datang  memperkenalkan  diri  secara  langsung,  sekaligus  ingin
               mengenal secara langsung. Terus terang, aku merasa amat diterima di keluarga ini.... Kalau
               saja istriku bisa datang, ia pasti akan lebih senang dariku...."
                   Rekan kerja Dalimunte memberikan hadiah dari istrinya untuk Laisa. Seperangkat kain
               bordiran. Kak Laisa tersenyum malu.
               "Aku amat mencintai istriku, tidak pernah sekalipun terlintas untuk menikah lagi, tapi aku
               berjanji,  jika  urusan  ini  berjalan  sesuai  yang  direncanakan,  aku  akan  belajar  banyak
               bagaimana  membagi  cinta  dengan  adil....  Dan  aku  berharap  Laisa  bisa  memberikan
               kesempatan  untuk  melakukannya,  menjalani  prosesnya  dengan  indah  dan  baik....  Aku
               sungguh ingin meneruskan proses ini...."
                   Malam itu sepertinya urusan benar-benar akan berjalan sesuai yang direncanakan. Meski
               berusaha  untuk  tetap  terkendali  seperti  selama  ini,  muka  tersipu  dan  memerah  tidak  bisa
               menyembunyikan perasaan Kak Laisa. Mamak Lainuri juga tersenyum bahagia. Malam itu
               sepertinya kabar baik itu benar-benar tiba.
                   Tetapi Allah ternyata memiliki rencana lain.
                   Yang sungguh membuat semua kebahagiaan sesaat itu lenyap tak berbekas. Malam itu,
               Kak Laisa untuk pertama kalinya tidak menghabiskan penghujung malam dengan berdiri di
               hamparan perkebunan. Ia tertidur lelap di kamarnya. Juga yang lain. Tapi kesunyian lembah
               mendadak robek oleh telepon dini hari. Dari rumah sakit ibukota.
                   Istri rekan kerja Dalimunte yang sudah dua hari terbaring lemah dilarikan ke rumah sakit
               dua jam lalu. Kondisinyn memburuk. Tapi bukan soal sakitnya yang merusak rencana. Kata
               dokter ia hanya lelah dan terlampau banyak pikiran. Anemia, penyakit kebanyakan ibu-ibu
               lainnya.  Hanya  perlu  istrirahat  total  selama  sebulan.  Yang  membuat  semuanya  mendadak
               berubah  haluan  seratus  delapan  puluh  derajat  adalah  saat  dokter  memeriksa  secara
               menyeluruh, ternyata istri rekan riset Dalimunte sedang hamil muda.
                   Gugup rekan kerja Dalimunte mendengar berita itu. Rasa senang. Rasa cemas. Entahlah.
               Buncah jadi satu. Kabar bahagia yang mereka tunggu selama lima belas tahun akhirnya tiba.
               Gugup  membangunkan  Dalimunte.  Memutuskan  pulang  segera  ke  ibukota.  Gugup
               menjelaskan  kabar  bahagia  tersebut  ke  Mamak  dan  Kak  Laisa.  Awalnya  tidak  ada  yang
               memikirkan  kalau  kabar  bahagia  itu  akan  memiliki  banyak  implikasi  penting.  Tidak  ada.
               Ikanuri  dan  Wibisana  menawarkan  diri  segera  mengantar  ke  kota  provinsi,  agar  bisa  naik
               pesawat siang ini yang menuju ibukota.
                   Tidak ada yang berpikir tidak-tidak.
                   Hanya Kak Laisa yang berdiri di daun pintu, menatap kosong mobil yang dikemudikan
               Ikanuri membelah lengangnya shubuh Lembah Lahambay. Cahaya lampunya menghilang di
               tikungan Sana, seiring dengan menghilangnya cahaya mata Kak Laisa yang merekah bahagia
               dua puluh empat jam terakhir.
                   Kabar baik itu, ternyata bagai pisau bermata dua.
   94   95   96   97   98   99   100   101   102   103   104