Page 97 - Bidadari-Bidadari Surga-TereLiye
P. 97

www.rajaebookgratis.com





               usia tujuh puluhan sudah meninggal lima tahun silam. Anak satu-satunya dari istri pertama
               juga meninggal di usia muda. Diterkam penguasaGunung Kendeng.
               "Aku  ingat  sekali  kata-katanya,  yang  selalu  diucapkan  setiap  kali  bertandang  ke  rumah,
               bercakap-cakap dengan Mamak, 'Meski terlahir sendiri, sudah menjadi kodrat manusia untuk
               berketuarga, memiliki tempat untuk berbagi, memiliki teman hidup'..."
               Kak Laisa mendadak terhenti.
               Menghela nafas.
                   Dalimunte yang berdiri di sebelahnya menoleh. Dia juga pernah mendengar kalimat itu
               dari  Wak  Burhan.  Sudah  hampir  lima  bulan  mereka  tidak  membicarakan  perjodohan  itu.
               Sungkan.  Dalimunte  takut  menyinggung  perasaan  Kak  Laisa.  Malam  ini?  Dalimunte  ikut
               menghela nafas panjang. Malam ini mungkin  tidak  membicarakan hal  itu  setelah kematian
               Wak Burhan.
               "Apakah, ergh, apakah Kak Laisa enggan dengan sebutan istri kedua? Maksud Dali, apakah
               Kak Laisa khawatir dengan penilaian tetangga sekitar?" Setelah berdiam diri satu sama lain,
               Dalimunte akhirnya memutuskan untuk membicarakan hal tersebut. Mungkin ini saat yang
               tepat.
               Kak Laisa menoleh. Menatap wajah Dalimunte lamat-lamat,
               "Tentu tidak, Dali. Bukankah dulu Kakak pernah bilang: buat apa kau memikirkan apa yang
               dipikirkan orang lain, buat apa kau mencemaskan apa yang akan dinilai orang lain... Tentu
               saja bukan itu masalahnya."
               "Lantas, maksud Dali, mengapa Kak Laisa tidak kunjung mengambil keputusan? Setidaknya
               untuk  bilang  ya  atau  tidak....  Wak  Burhan  dulu  pernah  bilang,  jika  ada  alasan  baiknya,
               menjadi istri kedua tidaklah selalu buruk. Dia pilihan yang baik buat Kak Laisa. Istrinya juga
               mengijinkan....  Dan  Dali  yakin  sekali,  mereka  juga  akan  menjadi  bagian  yang  tepat  bagi
               keluarga kita...."
                   Kak Laisa diam sejenak.
                   Membiarkan angin pagi menelislk rambut gimbalnya.
                   Dingin.
               "Setiap  kali  menatap  hamparan  perkebunan  strawberry  ini,  aku  selalu  merasa,  Allah  amat
               baik kepada kita.... Kau tahu Dali, setiap kali mendengar kabar kalian. Mendengar apa yang
               telah  kalian  lakukan.  Aku  merasa,  Allah  benar-benar  baik  kepada  kita.  Kakak  sungguh
               merasa cukup dengan semua ini.... Umurku hampir empat puluh tahun, Dali. Setelah sekian
               lama jodoh itu tidak pernah datang, aku pikir itu bukan masalah besar lagi.... Mungkin benar
               sudah  menjadi  kodrat  manusia  untuk  menikah,  berkeluarga.  Mungkin  Wak  Burhan  benar.
               Tapi itu tidak pernah menjadi sebuah kewajiban, kan.... Sejak lama aku sudah bisa menerima
               kenyataan  jika  memang  menjadi  takdirku  hidup  sendiri,  jika  memang  tak  ada  lelaki  yang
               menyukai tampilan wajah dan fisik. Keterbatasan ini
               "Ah, Allah sudah amat baik dengan memberikan kalian, adik-adik yang hebat. Keluarga kita.
               Perkebunan ini, Kakak sungguh sudah merasa cukup dengan semua itu...."
               Kak Laisa menghela nafas, terdiam lagi.
               "Apakah Kakak tetap menginginkan menikah? Tentu saja, Dali. Namun jika perjodohan itu
               harus datang, Kakak tidak ingin proses itu justru mengganggu kebahagiaan yang sudah ada.
               Bukan  karena  sebutan  istri  kedua  itu,  Dali,  Bukan  pula  karena  cemas  apa  yang  akan
               dipikirkan tetangga. Tetapi Kakak tidak mau pernikahan itu menganggu kebahagiaan yang
               telah ada...."
                   Malam itu setelah bicara hingga shubuh. Saat adzan terdengar dari surau (entahlah siapa
               yang  mengumandangkan  adzan  tersebut  sekarang).  Akhirnya  keputusan  itu  diambil.
               Dalimunte akhirnya mengerti mengapa begitu lama keputusan itu terbelengkalai, Kak Laisa
               enggan  menyakiti  perasaan  istri  pertama  calon  perjodohan  ini.  Butuh  berkali-kali
               menyakinkan  Kak  Laisa  kalau  pernikahan  itu  justru  karena  permintaan  istri  pertama.
   92   93   94   95   96   97   98   99   100   101   102