Page 110 - Bisikan Ombak - by Suci Harjono
P. 110
“Ada apa dengan tambatan perahu?”
“Pohon-pohon di pantai di tebangi…”
Seperti tersengat lebah, Budi tergangga. Kantuknya lenyap tak
berbekas. Pikirannya langsung paham dengan kalimat tetangganya.
“Siapa yang menebani pohon di pantai?”
“Pengembang….pohon…pohon…Ayo Bud, kau mesti ke sana.
Mumpung belum semua pohon habis di tebang.” Ajak Lamatenggo
dengan gugup.
Tanpa bertanya lagi Budi berjalan dengan cepat menuju ke pantai
tempat tambatan perahu. Karena tergesa-gesa, ia hanya menemukan
satu sandal jepitnya. Entah yang satu melayang kemana. Tanpa berpikir
lama dan tak berniat untuk mencari sandal jepitnya, Budi pergi tanpa
alas kaki .
Diana, istri Budi melihat heran suaminya saat berpapasan di
jalan. Setahunya Budi tengah pulas tertidur dan biasa bangun ketika
lewat pukul tiga sore. Melihat langkah tergesa Budi yang diikuti
Lamatenggo, mencegah Diana untuk melontarkan pertanyaan. Pasti ada
hal yang penting yang mendorong suaminya tak sempat memberikan
penjelasan kepadanya.
**
Budi dan Lamatenggo mampir sebentar ke rumah Kustya dan
Jandry. Bermaksud untuk mengajak mereka berdua ke tambatan perahu.
Ternyata kedua tetangganya masih tertidur pulas. Tanpa menunggu
mereka dibangunkan, Budi dan Lamatenggo menuju pantai.
Mata Budi mengerjap berusaha menyakinkan pandangan
matanya. Dari kejauhan, sekitar 200 meter ia melihat ada dua orang laki-
laki yang sedang sibuk menebang pohon wenang. Suara mesin penebang
beradu dengan batang pohon menimbulkan kebisingan dan memecah
keheningan di pantai. Tak jauh dari penebangan, sebatang pohon
wenang sudah tumbang. Pohon wenang yang ditanam oleh nelayan
selama bertahun-tahun yang lalu tampak merana karena tercerabut dari
akarnya.
110 Bisikan Ombak_ Suci Harjono_sucihan03@gmail.com