Page 112 - Bisikan Ombak - by Suci Harjono
P. 112
“Hih…” dengus Budi jengkel.”Kalian tidak boleh meneruskan
menebang pohon ini! “tegas Budi lagi. Tangannya berkacak pinggang.
“Tapi, Om….?”
“Tidak ada tapi-tapian. Bilang saja dengan orang yang membayar
kamu. Bilang kalau nelayan Sario tidak mengijinkan. “
“Tapi….”
“SEKALI TIDAK TETAP TIDAK !” bentak Budi marah.
Kedua penebang pohon itu saling pandang dengan wajah
binggung. Mereka tidak berani untuk melanggar penjanjian dengan
orang yang telah membayar mereka. Tetapi nekad untuk melanjutkan
menebang juga bukan pilihan yang tepat. Bagaimana mereka bisa
menghadapi nelayan Kampung Sario?
“Wah, torang tidak berani,” jawab kedua penebang pohon
hampir bersamaan.
Budi naik pitam. Tangannya mengepal dengan marah. Wajahnya
memerah tanpa bisa dicegah. Dengan sikap menantang Budi membentak
marah. “Kalau dorang tidak mau berhenti, terpaksa kita akan hentikan
dengan paksa!”.
Kedua orang penebang itu saling tatap lagi dan mereka terpaksa
menyerah melihat Budi sudah bersiap memukul. Bukannya takut tetapi
mereka tidak mau membuat keributan di Kampung Sario. Pasti dengan
mudah orang-orang akan mengeroyoknya.
Dengan sikap pasrah kedua orang itu mengemasi mesin penebang
pohon dan tali yang tadi digunakan untuk membantunya bekerja.
Mereka bekerja dalam diam. Pikiran berkecamuk untuk memberikan
jawaaban yang tepat saat orang yang menyewa jasanya minta
pertanggungjawaban akan pekerjaan yang belum selesai dikerjakan.
Tanpa berkata-kata mereka berdua meninggalkan pantai Sario.
Budi dan Lamatenggo membersihkan patahan-patahan batang
pohon wenang yang berserakan di mana-mana. Mereka berdua
mengumpulkan batang pohon di satu tempat. Pantai kelihatan kotor
dengan patahan kayu yang belum sempat dikumpulkan oleh penebang
pohon tadi.
112 Bisikan Ombak_ Suci Harjono_sucihan03@gmail.com