Page 20 - TERE LIYE
P. 20
Nasihatnya masuk kuping kiri keluar kuping kanan. Malah
asyik meneruskan membaca saat punggung Kak Eli hilang
di kelokan jalan. Tanggung, tinggal sedikit lagi buku cerita ini
habis kubaca. Nanti-nanti saja makan dan shalatnya.
Dan waktu terus berlalu cepat. Tanpa terasa.
Pukul satu siang, Kak Eli menaiki anak tangga. Aku tidak
mendengarnya karena asyik membaca. Suaranya seperti
geledek di siang bolong, mengagetkanku bukan kepalang.
Pecah sudah marah Kak Eli. Ia yang sebal karena gagal
menyusul Kak Burlian dan Kak Pukat-dua kakakku itu
entah balapan perahu otok-otok di mana, tidak ditemukan di
kolam sekolah, juga di semua kolam dekat kampung-,
sekarang menemukanku yang masih asyik berbaring,
tiduran, membaca buku cerita.
"Harus berapa kali Kakak bilang, Amel. Apa susahnya, sih,
nurut. Bukan karena kau anak bungsu, maka kau bisa terus
menggampangkan tugas, tidak peduli. Bukan mentang-
mentang kau bungsu maka kau bisa mengabaikan semua
kalimat orang lain, hah? Mentang-mentang kau bungsu,
maka akan terus dibela oleh Bapak. Tidak ada Bapak di
sini."
Aku menangis. Kak Eli menjewer kupingku. Bahkan
menyita buku ceritaku.
"Berhenti menangis! Sedikit-dikit menangis. Kau kira kau
saja yang diberi tugas, hah? Sepanjang pagi Kakak tidak
henti bekerja, lelah. Bahkan, Kakak tidak sempat istirahat
walau sedetik. Tugas Kakak berkali-kali lipat lebih banyak
dibanding kalian. Apa Kakak pernah meminta kalian untuk
membantu? Apa Kakak pernah mengeluh? Belum lagi
20 | www.bacaan-indo.blogspot.com