Page 23 - USHUL FIKIH_INDONESIA_MAPK_KELAS XII_KSKK
P. 23

Dengan  penjelasan  ayat  tersebut  dapat  dipahami  bahwa  Allah  Swt  tidak

                   menginginkan  manusia  dalam  kesulitan.  Selanjutnya  menjadi  pembahasan  pula
                                                     ْ
                                                ُ َّ
                                                    َ
                   “kesulitan” atau  masyaqqah  (َةقَشملا)dalam hubungannya dengan objek hukum. Dalam
                   hal ini ulama membagi kesulitan atau masyaqqah itu pada dua tingkatan:
                          Pertama,  Masyaqqah  yang  mungkin  dilakukan  dan  berketerusan  dalam

                   melaksana  kannya.  Umpamanya  puasa  dan  ibadah  haji.  Masyaqqah  dalam  bentuk  ini
                   tidak menghalangi taklif dan dapat menjadi objek hukum; karena memang semua objek

                   hukum  tidak  ada  yang  bebas  dari  kesulitan,  namun  dapat  dilakukan  oleh  mukalaf

                   meskipun dengan sedikit berat;
                          Kedua,  masyaqqah  yang  tidak  mungkin  seseorang  melakukannya  secara

                   berketerusan  atau  tidak  mungkin  dilakukan  kecuali  dengan  pengerahan  tenaga  yang
                   maksimal.  Pemaksaan  diri  dalam  melakukannya  akan  membawa  kerusakan  terhadap

                   jiwa  atau  harta.  Umpamanya  berperang  dalam  jihad  di  jalan  Allah  Swt.  Dalam

                   masyaqqah  seperti  ini dapat berlaku taklif, namun tidak untuk semua orang dan tidak
                   secara berketurusan. Masyaqqah ini mengandung kesulitan yang besar sekali dan tidak

                   semua  orang  mampu  mengerjakannya.  Karena  itu  hukumnya  adalah  wajib  kifayah
                   terhadap orang yang mampu melaksanakannya.

                          Perbuatan  yang  berlaku  padanya  taklif  ditinjau  dari  segi  hubungannya  dengan
                   Allah dan dengan hamba terbagi empat bagian:

                          Pertama,  perbuatan  yang  merupakan  hak  Allah  Swt  secara  murni,  dalam  arti

                   tidak ada sedikit pun hak manusia. Semua perbuatan ibadah mahdhah termasuk dalam
                   bentuk ini. Demikian pula urusan-urusan kemasyarakatan yang bertujuan untuk membela

                   kepentingan  masyarakat.  Umpamanya  jihad  dan  pelaksanaan  hukuman  zina.  Dalam
                   menegakkan kepentingan masyarakat pada bentuk hak Allah ini tidak diperlukan adanya

                   tuntutan atau pengaduan dari  manusia, dan tidak ada hak manusia untuk meringankan

                   pelaku atau menggugurkan hukuman atas pelakunya. Hal yang berkaitan dengan ibadat,
                   semuanya  adalah  hak  Allah  semata,  seperti:  shalat,  puasa,  zakat,  haji,  dan  lainnya.

                   Memang zakat itu seluruhnya digunakan oleh manusia yang tergolong mustahiq, tetapi
                   mustahiq  tidak  berhak  atas  harta  itu  ditinjau  dari  segi  mustahiq  itu  tidak  dapat

                   memaafkan atau menggugurkan muzakki (pembayar zakat) dari kewajiban zakatnya.

                          Dalam  hal  ini  tidak  ada  perbedaan  pandangan.  Perbedaan  hanya  terdapat  pada
                   masalah: apakah kewajiban zakat berlaku atas  muzakki (orang yang wajib zakat) pada

                   dirinya  atau  pada  harta  yang  dimilikinya.  Pengaruh  perbedaan  pendapat  ini  terlihat



                                                                           USHUL FIKIH  -  KELAS XII 14
   18   19   20   21   22   23   24   25   26   27   28