Page 21 - USHUL FIKIH_INDONESIA_MAPK_KELAS XII_KSKK
P. 21
Bertitik tolak dari definisi hukum syar’i di atas, yaitu titah Allah yang
menyangkut perbuatan mukalaf dalam bentuk tuntutan, pilihan dan ketentuan, maka
hukum syara’ itu terbagi dua: (1). Titah Allah yang berbentuk tuntutan dan pilihan, yang
disebut hukum taklifi (يفيلكتلا). Penamaan hukum ini dengan taklifi karena titah di sini
langsung mengenai perbuatan orang yang sudah mukalaf; dan (2). Titah Allah yang
berbentuk wadh‘i (يعضولا)yang berbentuk ketentuan yang ditetapkan Allah, tidak
langsung mengatur perbuatan mukalaf, tetapi berkaitan dengan perbuatan mukalaf itu,
seperti tergelincirnya matahari menjadi sebab masuknya waktu zuhur.
D. Al-Mahkum Bih (Objek Hukum)
Penyebutan istilah peristiwa hukum atau objek hukum, sebagian ulama ushul
menggunakan istilah mahkum fih, karena di dalam perbuatan atau peristiwa itulah ada
hukum, baik hukum wajib maupun yang hukum haram. Sebagian ulama lainnya
menggunakan istilah mahkum bih, karena perbuatan mukallaf itu bisa disifati dengan
hukum, baik yang bersifat diperintahkan maupun yang dilarang. Mahkum bih adalah
perbuatan-perbuatan mukallaf yang dibebani suatu hukum (perbuatan hukum). Tidak ada
pembebanan selain pada perbuatan. Artinya beban itu erat hubungannya dengan
perbuatan orang mukallaf. Oleh karena itu apabila syari'at mewajibkan atau
mensunnahkan suatu perbuatan kepada seorang mukallaf, maka beban itu tak lain adalah
perbuatan yang harus atau seyogianya dikerjakan.
Dengan demikian, pengertian Mahkûm bîh (هبَموكحملا) atau objek hukum ialah
sesuatu yang dikehendaki oleh pembuat hukum untuk dilakukan atau ditinggalkan oleh
manusia; atau dibiarkan oleh pembuat hukum untuk dilakukan atau tidak dilakukan.
Dalam istilah ulama ushul fiqh, yang disebut mahkûm bîh atau objek hukum”, yaitu
sesuatu yang berlaku padanya hukum syara’. Objek hukum adalah “perbuatan” itu
sendiri. Hukum itu berlaku pada perbuatan dan bukan pada zat. Umpamanya “daging
babi”. Pada daging babi itu tidak berlaku hukum, baik suruhan atau larangan.
Berlakunya hukum larangan adalah pada “memakan daging babi”; yaitu sesuatu
perbuatan memakan, bukan pada zat daging babi tersebut.
Hukum syara’ terdiri atas dua macam, yaitu hukum taklifi dan hukum wadh‘i.
Hukum taklifi jelas menyangkut perbuatan mukalaf; sedangkan sebagian hukum wadh‘i
ada yang tidak berhubungan dengan perbuatan mukalaf seperti tergelincirnya matahari
untuk masuknya kewajiban shalat Zuhur.
USHUL FIKIH - KELAS XII 12