Page 213 - LITERASI-BUKU-SEBAGAI-SARANA-MENUMBUHKAN-KEPRIBADIAN-PESERTA-DIDIK-YANG-UNGGUL
P. 213

199



                 Benturan pandang yang berbeda ini bisa dirunut
            ke belakang ke konsep utilitarianisme, yang mengusung
            kebermanfaatan sebagai prioritas dan tidak memberikan ruang
            untuk daya imajinatif. Dalam novel Charles Dickens berjudul
            Hard Times (terbit pertama kali tahun 1854), pembaca disodori
            pertanyaan filosofis: mana yang lebih penting, sains atau seni
            dan sastra?

                 Literasi, termasuk di dalamnya penulisan kreatif, memang
                   ROSDA
            masih dilihat sebelah mata. Kegiatan literasi BMI, misalnya,
            terbukti masih dianggap remeh oleh para pelaku bisnis
            ketenagakerjaan. Meski tidak menentang, sebagian di antara
            mereka melihat kegiatan literasi sebagai kegiatan yang kurang
            produktif dan berpotensi mengganggu tugas utama BMI. Bila
            ditelusuri lebih mendalam, sebenarnya tercermin kekhawatiran
            akan terganggunya stabilitas bisnis ketenagakerjaan bila
            kegiatan literasi ini diberi ruang lebih luas. Meski begitu, ada di
            antara pelaku bisnis ketenagakerjaan yang melihatnya sebagai
            hal baru dan perlu dipertimbangkan masuk dalam pembekalan
            TKW yang akan dikirim ke luar negeri.
                 Di ruang kelas, marginalisasi teks sastra terhadap teks
            yang bersifat ‘saintifik’ juga terjadi. Buku bergenre fiksi tidak
            banyak dimanfaatkan, baik karena alasan keterbatasan akses
            terhadap jenis bacaan atau relevansi dengan pembelajaran. Ini
            ironis mengingat buku fiksi dekat dengan kehidupan siswa
            dan memotivasi kegiatan membaca untuk kesenangan (reading
            for pleasure). Teks fiksi memiliki alur cerita (beginning-middle-
            ending) yang secara alamiah mudah dicerna oleh otak manusia.
            Seorang peneliti, Jonathan Haidt, mengatakan bahwa “Human
            mind is a story processor, not a logic processor.” Apabila guru
   208   209   210   211   212   213   214   215   216   217   218