Page 64 - Matinya Seorang Anak Muda di Negeri Ini & Cerita Pendek Lainnya
P. 64
Target
“Dengarkan aku, nak, semuanya sudah selesai,” kata
ayah kepadaku dengan tatapan memohon.
Aku melangkah mundur, di tangan kiriku masih ada
sebilah pisau berlumur darah, sementara tangan
kananku mencengkeram leher tuan Ardi, pemilik rumah
megah ini, yang juga memberiku pekerjaan sebagai supir
pribadinya. Nafasnya tersengal, mengikuti irama
jantungnya yang aku yakin berdetak kencang. Ia takut,
persis seperti apa yang aku rasakan di dalam diriku, kami
seirama.
“Lihat apa yang sudah kamu perbuat, nak,” bujuk ayah
sambil mengingatkanku untuk memperhatikan lantai
marmer bermotif bintik hitam dengan latar abu-abu
muda yang kini dijejali pecahan beling dan makanan,
bercampur darah, dan jasad dua orang yang tergeletak
tak bernyawa.
“Aku tidak akan pernah bisa memaafkanmu!” kata tuan
Ardi dengan marah.
“Memaafkan? Apakah tuan pura-pura tidak tahu kalau
seharusnya aku yang berhak marah, dan berkata seperti
itu?” jawabanku membuatnya terdiam.
“Apa maksudmu, nak? Apa yang sudah terjadi?” kata
ayah kebingungan.
61