Page 330 - test yy
P. 330
BAB 15 : BELAJAR SEPANJANG HAYAT 323
diterapkan dalam kesehariannya dengan suka cita dan penuh
tanggung jawab sebagai bentuk panggilan jiwa karena telah
menjiwai profesinya tersebut dengan sepenuh hati (Longworth
dan Davies, 2006).
Budaya belajar sepanjang hayat bersifat fleksibel, kreatif
serta responsif dengan kebutuhan di masyarakat sehingga timbul
karena kesadarannya masing-masing dan berdampak pada
kepuasan jiwanya karena apa yang dikehendakinya tidak
bertentangan dengan keinginan dan sesuai dengan naluri dasar
kemampuan yang ada dalam dirinya. Bagi Cheng-Yen Wang
belajar sepanjang hayat merupakan belajar sepanjang hidup (to
learns as long as to live, life-span learning, life-wide learning, atau life-
time learning) dan belajar tanpa ada batasan (learning has no
boundaries). Wang sendiri merumuskan belajar sepanjang hayat
tersebut sebagai bentuk revolusi damai yang berimplikasi pada
perubahan dalam semua aspek kehidupan dalam bidang
pendidikan, politik, ekonomi, budaya dan sosial (Wang, 1977).
Secara aplikatif fenomena di lapangan, pembelajaran
sepanjang hayat sebetulnya sudah semenjak lama dilaksanakan
oleh tiap orang maupun warga, kalau lembaga keagamaan sudah
memahami sistem pembelajaran semacam ini, semacam sistem
pondok di Malaysia, pondok pesantren di Indonesia, sekolah
minggu di negara- negara Eropa serta Amerika Serikat. Sistem
magang dalam bermacam wujud dilaksanakan baik oleh keluarga
dalam menekuni keterampilan tertentu, maupun oleh sanggar
kerajinan rakyat, bengkel kerja, dan lainnya dengan mengaitkan
semua usia belajar (UNESCO, 2009).
Contoh sukses negara yang menerapkan ini seperti Swedia,
konsep belajar sepanjang hayat digunakan untuk mereformasi
teori pendidikannya. Swedia mengembangkan semua kebutuhan
serta tuntutan setiap warga atas kegelisahannya pada
ketidakmampuan lembaga pendidikan yang memunculkan de-
schooling atau pemikiran yang menuduh lembaga sekolah sebagai
biang kegagalan dalam membangun dan meningkatkan