Page 62 - Beberapa Pemikiran Status Tanah dan Dinamikanya
P. 62
3) Perda Kabupaten Lebak Nomor 32 Tahun 2001 tentang Perlindungan
Atas Hak Ulayat Masyarakat Baduy;
4) Perda Kabupaten Nunukan Nomor 03 Tahun 2004 tentang Hak Ulayat
Masyarakat Hukum Adat;
5) Perda Kabupaten Nunukan Nomor 04 Tahun 2004 tentang Hak Ulayat
Masyarakat Hukum Adat Lundayeh Kabupaten Nunukan.
6) Perda Provinsi Daerah Istimewa Aceh Nomor 7 Tahun 2000 tentang
Penyelenggaraan Kehidupan Adat.
Deksripsi yuridis di atas menunjukan bahwa Negara tidak
kekurangan peraturan perundang-undangan yang memberikan
pengakuan terhadap hukum adat dalam kerangka hukum nasional.
Namun demikian menurut Kurnia Warman, banyaknya peraturan
15
yang tersedia ternyata belum memberikan jaminan secara kontruktif
terhadap keberadaan hukum adat, khususnya hak ulayat.
Sehubungan dengan pengaturan Hak Ulayat Masyarakat Hukum
Adat dalam berbagai peraturan perundang-undangan yang berdimensi
lokal dalam bentuk Peraturan Daerah (Perda)/Perdasus Provinsi maupun
Perda Kabupaten tersebut, memunculkan pertanyaaan. Apakah masuk
dalam konsep pluralisme hukum ataukah merupakan perpanjangan
(kontrol) dari sentralisasi hukum?. Pluralisme (perbedaan) hukum
16
mengandung beberapa ciri, yaitu: a) tidak ada satu sitem tunggal sebagai
sumber hukum; b) adanya semi outonomous social fields yang memiliki
kapasitas membuat aturan; c. terdapat beragam kaedah normatif
terhadap kenyataan yang bersumber pada tiap aktivitas pengaturan diri
15 Kurnia Warman, (2008), Pengaturan Sumberdaya Agraria Di Sumatera Barat
Pada Era Desentralisasi (Interaksi Hukum Adat dan Hukum Negara dalam
Perspektif Keanekaragaman dalam Kesatuan Hukum), Disertasi, Yogyakarta,
Program Pascasarjana UGM,: 165.
16 Sentralisme hukum merupakan turunan filsafat positivism hukum yang dipakai
meluas menjadi filsafat hukum yang paling banyak mempengaruhi kehidupan
sosial hukum saat ini. Menurut Grifiths, sentralisme hukum mengutamakan
tesis pokok bahwa hukum adalah kaedah normative yang bersifat memaksa,
eksklusif, hierarkhis, sistematis, berlaku seragam, serta dapat berlaku dua arah:
dari atas ke bawah (top downwards), dimana keberlakuannya tergantung kepada
penguasa. Atau dari bawah ke atas (bottom upwards), dimana hokum dipahami
sebagai lapisan kaedah-kaedah normative yang hierarkhis, dari lapisan paling
bawah dan meningkat ke lapisan yang lebih tinggi hingga berhenti pada puncak
lapisan yang dianggap sebagai kaedah utama (grundnorm). Dengan demikian
pluralism lemah merupakan perpanjangan dari sentralisme hukum.
47