Page 63 - Beberapa Pemikiran Status Tanah dan Dinamikanya
P. 63
sendiri dari berbagai wilayah sosial (semi-aoutonomous social fields) yang
beragam. d) berbagai aktivitas wilayah sosial tersebut saling pengaruh,
tumpang tindih, kompetisi maupun isolasi dengan aktivitas wilayah
sosial yang ada di sekelilingnya.
Dalam kaitan ini, Notonagoro menyatakan bahwa Dualisme
17
dalam soal hukum tanah, masih bersimpang siur dengan pluralisme
(perbedaan) yang terdapat dalam hukum adat sendiri, sehingga
tidak terdapat persamaan antar daerah yang satu dengan yang lain.
Dalam garis besarnya dalam hukum adat terdapat hak komunal yang
mempunyai subjek masyarakat hukum dan hak perserorangan.
Selanjutnya jika dikaji secara mendalam, hubungan antara hukum
masyarakat lokal dengan penjajah kolonial serta kelanjutan relasinya.
Ada dua kategori konseptual, yaitu Pertama pluralisme hukum
18
lemah, yaitu pengakuan hukum lokal berdasarkan ketentuan hukum
negara dalam bentuk apapun. Kedua, pluralisme hukum kuat, yaitu
masyarakat tidak lagi tunggal sebagai unit yang hanya taat pada sistem
hukum lokal sendiri, tetapi juga mempunyai pilihan bebas terhadap
berbagai hukum lain.
Hubungan Fungsional Hukum Adat dan Hukum Tanah
Nasional
Hukum Tanah Nasional disusun berdasarkan hukum adat
tentang tanah. Demikian diamanatkan dalam Konsideran UUPA.
Pernyataan tersebut dapat kita jumpai juga dalam: a. Pasal 5 UUPA,
yang menyatakan bahwa Hukum Agraria yang berlaku atas bumi, air
dan ruang angkasa ialah hukum adat. b. Penjelasan Umum angka III.
(1) UUPA; c. Penjelasan Pasal 5 UUPA. d. Penjelasan Pasal 16 UUPA;
e. Pasal Peralihan, yaitu Pasal 56 UUPA dan secara tidak langsung juga
dalam Pasal 58 UUPA.
17 Notonagoro, (1984), Politik Hukum Dan Pembangunan Agraria Di Indonesia,
PT. Bina Aksara, Jakarta: 139-140
18 Bernad Steny, Opcit., : 85-86.
48