Page 107 - Kebijakan Reforma Agraria di Era SBY
P. 107
wet dijalankan dengan memberikan konsesi tanah milik negara
kepada perusahaan-perusahaan Eropa sekaligus menyediakan
buruh murah. Keberadaan agrarische wet membuat tanah yang
sebelumnya dimiliki oleh masyarakat dapat diambil alih oleh
pemerintah Belanda dan kemudian dialihkan kepada perusahaan
swasta milik orang Belanda (Fauzi, 2012; Gordon 1982, 2001;
Notonagoro, 1972). Imajinasi tersebut berupa bayangan jika
tanah-tanah yang dikuasai melalui agrarische wet dapat diganti
dengan kebijakan pertanahan di bawah pemerintah Indonesia
dan diperuntukkan untuk kepentingan rakyat. Sebagaimana
yang kemudian terdapat dalam konstitusi dimana “Bumi, air, dan
kekayaan alam yang terkandung didalamnya, dikuasai oleh negara
dan dipergunakan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”.
Namun demikian, pengalaman individu yang buruk juga
menjadi bagian dari pencipta pemikiran dari masyarakat,
contohnya soal perampasan tanah. Dalam pandangan TG, tanah
di Cipari awalnya dimiliki oleh masyarakat telah dirampas oleh
tentara. Lebih lanjut, ia mengatakan bahwa perampasan tanah
tidak hanya terjadi di wilayahnya. Di desa dan kecamatan lain pun
perampasan tanah yang dilakukan tentara atas nama keamanan
dilakukan. Ia menggambarkan bahwa sebelum dirampas oleh
tentara, lahan yang dia kelola seluas 2 hektare dan ditanami
tanaman singkong, petai, jengkol, dan lain-lain. Akan tetapi,
setelah terjadi perampasan, tanamannya berganti menjadi pohon
karet yang kemudian menjadi wilayah perkebunan PT RSA.
Cerita tentang perampasan tanah memang menjadi cerita
yang paling mengemuka dalam kasus di Cipari. Pengalaman
mengenai tanah yang dimiliki telah dirampas oleh tentara menjadi
pemicu bagi SG, seorang petani penggarap, yang kemudian
90 Kebijakan Reforma Agraria di Era Susilo Bambang Yudhoyono