Page 108 - Kebijakan Reforma Agraria di Era SBY
P. 108
bergabung di SeTAM untuk memperjuangkan hak atas tanahnya.
Ia menuturkan:
“Proses (perampasan, pen.) yang dilakukan pemerintah waktu itu
dengan cara-cara mereka mungkin dianggapnya legal. Itu kan dari
sudut pandang mereka. Tetapi dari sudut pandang kami dari korban,
rakyat ya terjadi perampasan. Tapi kan kata-kata seperti itu kan sangat
aiblah bagi mereka. Atau mungkin sesuai perintah atasan menjalankan
perintah atasan. Mungkin kan seperti itu, namanya tentara kalau sudah
ada perintah mengamankan aset bisa saja seperti itu. Sehingga cara-cara
yang didapatkan oleh Kodam versi mereka ya mungkin legal. Tetapi versi
kami wong namanya juga perampasan kan berarti ilegal.” (Wawancara,
25/12/2018).
Namun demikian, dalam perjalanan memperjuangkan hak
atas tanahnya, pengalaman individu tidak berdiri sendiri. Para
petani penggarap tetap memperhitungkan kondisi sosial yang
melingkupinya. Pada era orde lama, di mana kekuatan petani
mendapatkan dukungan politik dari BTI, petani lebih bebas
mengekspresikan tuntutannya meskipun tetap saja mendapatkan
perlawanan balik. Tentang ikatan antara petani dengan BTI
tersebut digambarkan oleh Van der Kroef (1963). Ia menyebutkan
keberhasilan PKI di bawah Aidit tidak terlepas dari tiga faktor,
pertama, penekanan pada mobilisasi petani dan perjuangan
untuk land reform dalam mengembangkan teori dan program
partai; kedua, teknik organisasi yang diterapkan untuk merekrut
pendukung partai di daerah pedesaan; ketiga, penelitian mengenai
kondisi-kondisi petani dan kepemilikan tanah yang dilaksanakan
oleh kader-kader partai. Dalam konteks pertanahan, khususnya
perkebunan, keberadaan tentara dan PKI seperti berada dalam
“satu selimut” di bawah Soekarno, tetapi mereka saling berebut
untuk bisa ditutupi. Tentara mengambil alih lahan-lahan yang
selama ini dikuasai oleh perusahaan-perusahaan Eropa melalui
Atrikulasi Kepentingan Petani 91