Page 105 - qowaid
P. 105
QAWA’ID FIQHIYYAH
Maksud dari kaidah ini yakni hakikat merupakan
makna asal, sedangkan majaz merupakan cabang dari
hakikat, begitu juga kedudukan majaz berada di urutan
kedua setelah hakikat. Dalam pemindahan makna dari
hakikat kepada majaz ini harus ada pembanding yang
mencegah adanya makna hakikat seperti sulitnya
bermakana hakikat, atau makna hakikat terhalang baik
dari pandangan syara’ ataupun ‘urf. Maka pada posisi
demikian seseorang dapat melakukan pemindahan
makna.
Contoh penerapan dari kaidah tersebut antara lain:
1) Orang yang bersumpah tidak akan makan sapi yang
dibelinya. Ia dianggap melanggar sumpahnya apabila ia
memakan daging sapi tersebut. Namun, jika meminum
susunya diperbolehkan. Hal itu karena daging
merupakan makna hakiki dan susu merupakan makna
majazi.
2) Seseorang yang mewakafkan tanah untuk ahli waris
Ustman. Sedangkan Ustman masih hidup. Wakaf yang
dilakukan orang tersebut tidak sah karena sesuai
dengan makna hakikatnya.
3) Seseorang bersumpah tidak akan transaksi jual beli.
Dengan sumpahnya ini, ketika ia mewakilkan transaksi
jual beli tersebut kepada orang lain, maka ia tidak
dianggap melanggar sumpahnya dan tidak wajib
membayar kafarat. Hal ini karena perkataannya
diberlakukan sesuai dengan makna hakikatnya, yaitu
transaksi jual beli yang ia lakukan sendiri. Namun jika
seseorang yang kebiasaan hidupnya memerintahkan,
mewakilkan, atau bahkan dilayani oleh orang lain dalam
kebutuhan sehari-harinya, seperti seorang raja, kepala
suku, pemimpin pemerintahan, maka ia dianggap
melanggar sumpahnya jika mewakilkan kepada orang
lain.
g. Kaidah
ْ
ُلمْهُي مَلََكلا ُلامْعإ ر َّ زعَت اَذإ ِ
ِ
َ
َ ِ َ َ
“Apabila sulit mengamalkan suatu perkataan, maka
perkataan tersebut ditinggalkan” .
94