Page 56 - qowaid
P. 56
QAWA’ID FIQHIYYAH
3. Mengetahui status perkara yang diniati (al-manwi)
Dalam syarat niat di sini seseorang harus
mengetahui terhadap status perkara yang diniati (al-
manwi) status perkara yang diniati (al-manwi). Hal ini
diperlukan supaya ibadah yang dilakukan baik fardhu,
sunnah, atau yang lainnya menjadi sah. Menurut Al-
Baghawi orang yang tidak mengerti kefardhuan wudhu
atau shalat, maka melaksanakannya dihukumi tidak sah.
Juga demikian shalat orang yang mengetahui sebagian
shalat fardhu dan tidak mengerti shalat yang dilakukan
adalah fardhu. Begitu juga orang yang tidak bisa
membedakan antara ibadah fardhu dan sunnah maka
ketika melaksanakannya dihukumi tidak sah. Namun
bila seseorang meyakini bahwa seluruh ibadah yang
dilakukan adalah fardhu, maka ada dua pendapat;
pendapat pertama menurut qaul ashah ibadahnya sah
karena kemungkinan ia hanya melakukan kesunnahan
dengan diyakini fardhu, hal ini tidak berpengaruh
terhadap keabsahan ibadah. Pendapat kedua, menurut
al-Ghazali bahwa ibadah orang awam yang tidak mampu
membedakan fardhu dari sunnah dihukumi sah dengan
syarat tidak menyengaja fardhu sebagai kesunnahan,
yang bila kesunnahan ini diniati fardhu, maka tidak
dianggap sebagai ibadah. Apabila lupa memerinci ibadah
yang dilakukan, maka niat secara umum dianggap
cukup. Pendapat al-Ghazali ini dikuatkan oleh an-
Nawawi.
53
Dalam kitab Tuhfah, Ibn Hajar mengatakan
apabila seseorang meyakini dalam shalat dan wudhu
misalnya, ada fardhu dan kesunnahan, namun ia tidak
mampu membedakan antara yang fardhu dan yang
sunnah, maka ibadahnya dihukumi sah. Hukum sah ini
berlaku baik bagi orang awam ataupun orang alim.
Sementara ibadah orang yang yang tidak meyakini
apapun, baik fardhu ataupun sunnah, dan ia adalah
orang awam, maka menurut al-Jarhazi hukumnya sah,
meskipun ulama menegaskan bahwa seseeorang tidak
53 Ibid, hlm. 83.
45