Page 60 - qowaid
P. 60
QAWA’ID FIQHIYYAH
disyaratkan ada niat, dan bagi yang mengatakan bahwa hal
tersebut adalah meninggalkan (al-tarku), maka tidak
disyaratkan ada niat. Menurut Imam al-Mawardi,
mensucikan najis tidak perlu niat berdasarkan
kesepakatan ulama. Pendapat beliau didasarkan pada dua
hal: pertama, menghilangkan najis adalah ibadah yang
bersifat memisahkan dan meninggalkan, sementara segala
sesuatu yang sifatnya meninggalkan tidak perlu niat
sebagaimana sudah diketahui. Kedua, memandang ketika
ada najis yang disira air menjadi suci, maka dalam
permasalahan ini tujuan tidak dianggap dan niat tidak
diwajibkan.
60
Konsekuensi kedua, disyaratkan menentukan ibadah
yang srupa dengan ibadah selainnya. Menurut Imam an-
Nawawi dalam kitab al-majmu’ Syar hal-muhadzab dasar
dari konsekuensi kedua ini adalah hadits Nabi SAW:
ىوَن ام ءيرْما لُكِل امَّنإو
ِ
ِ
ِ
َ
“Dan sesungguhnya seseorang hanya mendapatkan
apa yang dia niatkan.”
Sebab, asal disyaratkannya niat dipahami dari hadits:
ِتاَّي نلاب ُلامْعلأا امَّنإ
ِ
َ
َ ِ
Maksud menentukan adalah penyebutan dhuhur
atau ashar, seumpama terjadi dalam shalat. Karena antar
shalat ashar dan dhuhur sama dalam segala sisi maka untuk
membedakannya harus ada niat penentuan nama shalat
tersebut. Begitu juga shalat sunnah rawatib, wajib
ditentukan dengan disandarkan pada shalat dhuhur atau
ashar misalnya, serta harus ada penyebutan qabliyah atau
ba’diyah. Pendapat ini menurut Imam al-Mawardi
sebagaimana Imam an-Nawawi dalam kitab al-Majmu’.
Namun menurut Imam asy-Syihab Ahmad bin Umar dalam
kitab al-‘Ubab tidak perlu ada penentuan niat dengan
disandarkan pada shalat dhuhur atau ashar, dan juga tidak
disyaratkan penyebutan qabliyah atau ba’diyah. Sementara
menurut sebagian ulama, kewajiban menentukan niat
berlaku apabila mengakhirkan shalat sunnah ba’diyah.
Adapun contoh lain dari kewajiban menentukan niat
adalah shalat hari raya Idul Fitri, Idul Adha, dan shalat
60 As-Suyuthi, I/ hlm. 41.
49