Page 63 - qowaid
P. 63
QAWA’ID FIQHIYYAH
engan puasa sunnah yang niatnya boleh dilakukan di
permulaan puasa sampai sebelum masuk waktu dhuhur,
berdasarkan hadits yang diriwayatkan Sayyidah Aisyah r.a.
ْ
ْ ُ
ُ
َ
,اَنلق ْ نإَف ؟ ءاَدَغ ْ نِم مُكَدْنِع ْلَه :ُل ْ وقَيَف ,انْيِتأَي يبَّنلا َناَك
ُْ ِ
ِ
ْ
ْ ُ
هاور( .مِئاص يِنإ :َلاَق , َ لَ :اَنلق ْنإو .ىَّدَغَت ,معَن
ِ
ٌ َ
ْ َ
ِ َ
.)ينطقرادلا
“Nabi sering datang padaku, laku berkata: “Apakah kamu
punya sarapan pagi?” Apabila aku berkata: “Ya”,, maka
beliau sarapan pagi, dan apabila aku mengatakan : “Tidak”,
maka beliau berkata : “Saya berpuasa.” (HR. Daruquthni).
f. Hikmah Penetapan Niat
Pada penjelasan sebelumnya telah disebutkan
bahwa setiap tindakan pada umumnya tidak dapat terlepas
dari niat. Dan tidak dapat keluar dari ketetapan tersebut
kecuali orang yang hilang akal atau sesuatu yang pada
dasarnya tidak mempunyai akal seperti binatang. Namun,
disebabkan pokok permasalahan yang dikaji adalah niat
syar’i, yaitu maksud atau keinginan yang spesifik, maka
harus dijelaskan hikmah di balik penetapan niat bagi
seluruh perbuatan syar’i.
Hikmah ketetapan tersebut adalah sebagai berikut:
1. Membedakan perbuatan ibadah dari perbuatan selain
ibadah untuk membedakan apa yang merupakan hak
Allah dan apa yang selainnya. Contoh: Datang ke masjid
apakah dengan maksud shalat atau istirahat karena
kelelahan.
2. Membedakan tingkatan-tingkatan ibadah dilihat dari
substansinya untuk membedakan kemampuan hamba
atas apa yang diperbuatnya dan mengekspresikan
tingkat pengagungan terhadap tuhannya.
65
Contoh: Shalat terbagi ke dalam dua kategori, wajib dan
sunnah. Demikian juga perkataan yang berkaitan dengan
transaksi kebendaan, puasa, dan ibadah lainnya, maka
disyariatkan niat untuk membedakan kategori ibadah-
ibadah tersebut.
Melihat contoh di atas jelas bahwa setiap ibadah
tidak mempunyai kemiripan dengan ibadah lainnya.
65 An-Nihayah fi Asy-Syariah Al-Islamiyyah, hlm. 10.
52