Page 301 - THAGA 2024
P. 301
pelupuknya. Sebagian meluncur tak terbendung lagi di akhir
bersamaan dengan akhir katanya.
Suasana mendadak hening. Raut wajah Ayah menjadi
serius, begitu juga Ibu yang langsung mengusap pundak dan
punggung Nastiti. Aku menundukkan kepala. Jika harus patah
hati, mungkin sekarang yang patah hati bertambah. Mereka
Ayah dan Ibu.
“Ayo diminum dulu kopi sama tehnya, keburu dingin.
Sekalian biar gak tegang,” ujar ayah memecah sunyi. “Bi, tolong
ambilkan rokok sama once di meja makan, ya.”
“Injih, Ndoro,” ucap Bi Lasmi dari dalam sana.
Aku dan Nastiti mengambil gelas tapi Nastiti hanya
mencecapnya sedikit saja, dia juga masih terdiam, seolah
bibirnya kehabisan kata-kata. Bi Lasmi datang membawa
rokok, once, korek serta asbak. Dibakarlah rokok putihan ayah
lalu dihembuskan berat ke atas. Asap rokok dengan aroma
tembakau tanpa campuran cengkeh yang pekat membubung
mengikuti embusan arah angin.
“Ya, endak papa, Nduk, daripada kamu nungguin Galang.
Gak jelas gitu, apalagi Galang itu kayak pohon, akarnya
banyak. Kalo kamu nikah sama dia, harus siap-siap kalo dia
nanti punya istri lagi.” Ibuku berkata seolah memang keputusan
Nastiti sudah tepat dan aku adalah lelaki yang tak layak untuk
dinantinya.
Aku hanya menunduk saat Ibu kemudian mengusap-usap
rambutku.
“Rencananya kapan, Nduk kamu nikah? Biar ayah ibu ikut
bantu rewang nanti,” sambung Ibu yang beralih mengusap
punggung Nastiti. Ibu melihat ayah yang tampaknya ada
sesuatu yang gak lombo alias gak wajar dalam diri Nastiti,
THAGA 293
GALGARA