Page 302 - THAGA 2024
P. 302
Ibu selalu bisa merasakan itu. Sejak Ibu kecil, kata eyang ibu
sudah banyak yang “ikut” dan ditambah isian dari bude yang
merupakan orang pintar di desa eyang di Mojokerto.
“Seminggu lagi, Buk, Nastiti nikahnya, lusa lamaran. Semua
dipercepat, Buk,” jawab Nastiti sembari menggenggam erat
punggung tangan ibu. Sedang tatapan welas ibu mendadak
berubah menjadi tajam. Ada sesuatu yang sedang dibenak oleh
ibu.
“Lalu wali nikahnya nanti siapa, Nduk?” Ibu tahu Nastiti
seorang yatim.
“Ndak ada, Buk. Pake wali hakim. Kemaren disarankan
nikah mayit saat mama meninggal.” Wajah Nastiti berubah
sendu. Seakan ada kesedihan yang belum hilang di sana. “Tapi
calon suami Nastiti menolak, Buk.”
Aku terkejut. Kenapa dia gak ngabari kalo mamanya sudah
meninggal. Hal itu juga dirasakan Ayah Ibu. Pantesan gak ada
kabar dari mamanya Nastiti.
“Piye, to, Nduk. Kok, endak ngabari ayah ibu kalo Mamamu
meninggal. Kapan itu, Nduk?” tanyanya dengan wajah tabah di
depan Nastiti. “Ya sudah kamu tenangin diri dulu, ya.”
“Sudah tiga bulan, Buk, Mama sakit keras. Nastiti sudah
bawa ke Singapura tapi Tuhan berkehendak lain. Kemaren
yang datang ke pemakaman Mama cuman keluarga dekat
sama calon suami Nastiti, Buk. Calon suami Nastiti ndak
ngijinin untuk ngabari teman-teman. Sebab itu Nastiti juga ndak
ngabari, Ayah, Ibu maupun Mas Gal.”
Ibu menatap Ayah seolah batin mereka sedang
berkomunikasi. Mereka serig melakukan kontak batin begini.
Ayah yang segera paham maksud Ibu segera menyugar
rambut panjangnya lalu menggelungnya menjadi pendek ke
294 THAGA
GALGARA