Page 307 - THAGA 2024
P. 307
Ibukmu,” pinta Ayah yang langsung disambut anggukan oleh
Nastiti. “Yasudah, kalian boleh istirahat. Nastiti bisa pake kamar
tamu.”
Malam ini usai sudah kami menolong Nastiti dari lelaki
mokondo. Tapi kejadian ini menjadi sebuah inspirasi baru
untukku. Menjadi seorang orang pintar palsu untuk menjerat
para wanita sepertinya bisa. Ah, ini menjadi semakin menarik
sepertinya.
“Jalan, yuk, Nas. Mumpung masih sore,” ajakku pada
Nastiti yang wajahnya terlihat lebih cerah. Dia mengenakan
hoodie yang sekaligus dibuat sebagai kerudung.
“Sore gimana, Gal? Mau jam satu loh, ini. Ngaco aja kamu,
nih. Emang mau ngajakin ke mana, sih, malem-malem gini
juga? Ketempelan lagi nanti akunya.”
“Nyari tempat adem, yuk. Nyusu di pasar Pacet. Udah lama
gak ke sana, kan? Kita nostalgia zaman kuliah. Aku sudah mau
erupsi rindu sama suasananya.”
Matanya berbinar membola, “Kata-katamu, Gal, Gal. Udah
kayak pujangga aja.” Dia tertawa, “yaudah, yuk! Kangen sate
jamur juga aku. Tapi pamitin dulu ke Ayah Ibu ya!”
“Beres. Urusanku itu. Yaudah tunggu sini aku pamit dulu
ke dalem. Mumpung ayah ibu belum tidur. Sekalian barang kali
beliau-beliau mau nitip apa gitu.”
“Yaudah pamit sana, gih. Mumpung aku juga belum
ngantuk.”
Setelah izin kami dapatkan. Kami berangkat dengan motor
bebek 4 silinder, Honda Karisma 125 menuju pasar Pacet yang
terletak di kaki Gunung Welirang. Jarak tempuh kira-kira 30
km atau 2 jam waktu tempuh dengan kecepatan normal. Jika
kami jalan dengan kecepatan 100 km per jam, kira-kira berapa
THAGA 299
GALGARA