Page 151 - Transformasi Media Pembelajaran Berbasis Kearifan Lokal di Era Digital
P. 151
simbol, dan visual tidak menyinggung atau mendistorsi
makna budaya (Hunaepi, 2017).
Tahap Pengembangan dilakukan melalui kolaborasi
multidisipliner: guru dan dosen sebagai perancang pedagogis,
desainer multimedia sebagai pengembang teknis, serta
komunitas lokal sebagai penjaga otentisitas budaya. Seperti
ditekankan Giaccardi (2012), partisipasi komunitas dalam
desain media bukan sekadar aksesori, melainkan syarat utama
agar produk digital memiliki legitimasi sosial dan budaya.
Dalam praktiknya, pengembangan ini juga dapat
memanfaatkan metode co-creation atau participatory design
(Cruz, Sandoval, & Coto, 2021) untuk mendorong
keterlibatan aktif semua pihak.
Tahap Implementasi tidak berhenti pada uji coba
teknis, melainkan diwujudkan dalam piloting di kelas nyata.
Guru bertindak sebagai fasilitator, siswa sebagai pengguna
sekaligus co-creator, dan peneliti sebagai evaluator. Observasi
dilakukan untuk menilai tingkat keterlibatan, respons siswa,
serta tantangan guru dalam mengintegrasikan media ke RPP.
Model ini menekankan siklus iteratif - produk diuji, dikritisi,
lalu disempurnakan agar adaptif terhadap konteks sekolah
yang berbeda (Andriani, 2023).
Tahap Evaluasi sebaiknya bersifat berlapis. Evaluasi
pedagogis menilai relevansi kurikulum dan capaian belajar;
evaluasi budaya memastikan representasi otentik dan
menghormati knowledge sovereignty; evaluasi pengalaman
pengguna menggali keterlibatan siswa melalui survei, FGD,
atau analisis kepuasan pengguna. Kerangka evaluasi seperti
yang ditawarkan Nurmukhametov, Gabdullin, dan
Masalimova (2021) dapat dijadikan acuan, karena
menyeimbangkan aspek pedagogis, teknis, dan kultural.
Melalui penyatuan ini, model ADDIE atau Dick &
Carey bukanlah digantikan, melainkan ditransformasi
menjadi lebih kontekstual dan partisipatif. Proses
pengembangan pembelajaran digital menjadi lebih glokal -

