Page 165 - Transformasi Media Pembelajaran Berbasis Kearifan Lokal di Era Digital
P. 165
sebagai pencetak calon guru, juga belum sepenuhnya
menjadikan integrasi lokal-digital sebagai bagian wajib
dalam kurikulumnya.
Implikasinya, banyak guru dan calon guru tidak
memiliki pengalaman sistematis dalam merancang atau
mengimplementasikan media lokal-digital. Inovasi yang
ada hanya bersifat individual, sulit direplikasi, dan jarang
mendapat dukungan kelembagaan. Dengan kondisi ini,
sangat sulit mendorong inovasi lokal-digital menjadi
gerakan sistemik yang merata di seluruh Indonesia.
6.3.1 Isu etika, otentisitas, dan governance budaya
Digitalisasi budaya bukan hanya persoalan teknis,
tetapi juga menyangkut hak, otentisitas, dan etika. Dalam
banyak kasus, proses digitalisasi dilakukan tanpa
mekanisme Free, Prior, and Informed Consent (FPIC) dari
komunitas pemilik budaya. Perjanjian formal berupa MoU
(Memorandum of Understanding) atau kesepakatan
benefit-sharing jarang dibuat, sehingga hasil digitalisasi
rawan dimanfaatkan pihak luar tanpa memberikan
manfaat kembali kepada komunitas asal.
Selain itu, metadata dan provenance (asal-usul
data) sering tidak terdokumentasi dengan baik, sehingga
artefak budaya yang sudah digital tidak memiliki
legitimasi kuat dan rentan diklaim oleh pihak lain.
Akibatnya, risiko ekspropriasi budaya, komodifikasi
berlebihan, hingga konflik sosial dapat muncul ketika
digitalisasi tidak dilakukan dengan prinsip etika yang
benar.
6.3.2 Keterbatasan tata kelola kolaborasi dan
keberlanjutan pendanaan
Tantangan terakhir terletak pada aspek tata
kelola. Banyak inisiatif integrasi lokal-digital yang

