Page 167 - Transformasi Media Pembelajaran Berbasis Kearifan Lokal di Era Digital
P. 167
efektif. Dengan kata lain, tanpa strategi pengembangan
kapasitas berkelanjutan, guru akan tetap menjadi pengguna
pasif, bukan pencipta inovasi.
Ketiga, keterbatasan kurikulum nasional dan LPTK
mencerminkan adanya jarak antara visi pendidikan abad ke-
21 dengan praktik nyata. Selama integrasi lokal-digital hanya
dianggap pelengkap, inovasi ini tidak akan memiliki daya
dorong sistemik. Refleksi kritis di sini adalah perlunya
menjadikan integrasi budaya-digital sebagai kompetensi
wajib yang membentuk profil guru masa depan.
Keempat, isu etika dan otentisitas menegaskan bahwa
digitalisasi budaya bukanlah sekadar transformasi format,
tetapi juga transformasi relasi kuasa antara komunitas,
akademisi, dan industri. Refleksi yang muncul adalah
pentingnya menempatkan komunitas sebagai pemilik
pengetahuan dan memastikan prinsip FPIC, benefit-sharing,
dan dokumentasi metadata diterapkan secara konsisten.
Tanpa itu, digitalisasi justru bisa merugikan pihak yang
seharusnya paling dilindungi.
Kelima, tata kelola kolaborasi dan keberlanjutan
pendanaan menunjukkan bahwa keberhasilan inovasi tidak
hanya bergantung pada ide kreatif, tetapi juga pada
mekanisme kelembagaan. Laboratorium riset, konsorsium
universitas–komunitas–industri, serta model bisnis sosial
dapat menjadi refleksi nyata bahwa kolaborasi jangka panjang
adalah kunci keberlanjutan.
Refleksi atas tantangan-tantangan ini memberi
pelajaran bahwa agenda integrasi lokal-digital hanya dapat
berhasil bila diletakkan dalam kerangka yang lebih luas:
pendidikan sebagai ekosistem, bukan hanya kelas. Dengan
menyadari kompleksitas ini, langkah strategis yang perlu
diambil tidak sebatas memperbaiki komponen tertentu,
melainkan membangun sistem yang saling menopang.

