Page 109 - EBOOK_Sejarah Islam di Nusantara
P. 109

88  —  KEKUASAAN DALAM PENCARIAN PENGETAHUAN


          yang  ditulis  berdasarkan  ingatan  atau  pada  seorang  cendekiawan  Melayu
          yang berusaha menjelaskan konsep “realisasi” dan penerapannya pada kajian
          martabat tujuh wujud.
              Pastinya, terdapat petunjuk dalam kamus ini yang memberi kita sebuah
          pemahaman  betapa  Belanda  tidak  siap  memahami  elite  Islam,  dan  juga
          pemahaman tentang seberapa jauh Islamisasi telah berlangsung di kalangan
          penduduk  Indonesia  yang  lebih  luas.  Dengan  menerima  def nisi-def nisi
          kamus milik Golius secara apa adanya, kita sampai pada pemahaman bahwa
          teks (kitab) dihargai karena kekuatannya sebagai azimat karena kandungan
          tertulisnya  dan  bahwa  bentuk  verbal  hajj  dimengerti  sebagai  bermakna
          “membaca sesuatu dari kitab suci dalam bahasa Arab”, bukannya melaksanakan
          ibadah haji. Di satu sisi, ada penjelasan untuk istilah-istilah fakir, faqih, haram
          dan kaf r, tapi di sisi lain kita tidak mendapati penyebutan mengenai pondok,
          dzikr, atau juga tariqa. 50


          LEBIH DALAM DAN LEBIH JAUH

          Sebagaimana yang teramati oleh Snouck Hurgronje pada 1886, pandangan-
          pandangan  awal  Belanda  mengenai  Islam  lebih  banyak  dibentuk  oleh  apa
          yang disebutnya “keyakinan yang masuk akal” ketimbang oleh pengetahuan
          historis.  Seiring berlalunya abad ketujuh belas, keyakinan itu beralih pada
                51
          gagasan Protestan mengenai kembali ke teks. Hal ini mengikuti awalan berupa
          periode  keterbukaan  relatif  yang  ditandai,  misalnya  oleh  para  cendekiawan
          seperti  Erpenius  yang  terlibat  dalam  diskusi-diskusi  bersahabat  di  Leiden
          dengan  sang  Morisco  pelawat  Ibn  al-Hajari  mengenai  topik  teologi,  atau
          dengan humanis yang berhasil selamat di kawasan tropis seperti Jacob de Bondt
          (Bontius, 1592–1631) yang bermukim di Batavia dari 1627 sampai 1631. 52
              Apa  yang  benar-benar  dilakukan  orang-orang  Asia  Tenggara
          sebagai  muslim,  selain  disunat,  melaksanakan  ritual-ritual  kalendris,  dan
          membangun masjid-masjid yang saling bersaing serta sekolah-sekolah yang
          melekat dengannya, biasanya tidak terlalu menarik bagi para cendekiawan
          yang berpikiran lebih religius di Tanah Air. Inilah anggapan seorang profesor
          di  Universitas  Utrecht,  Gisbertus  Voetius  (1589–1676),  yang  pada  1655
          menerbitkan  sebuah  panduan  bagi  para  pendeta  yang  hendak  berangkat
          bertugas.  Buku  panduan  Voetius  dituliskan  dengan  gaya  Sokratik  dan
          didasarkan sebuah karya dari abad kelima belas yang disusun oleh seorang
          muslim yang berpindah memeluk Kristen, Johannes Andrea dari Valencia,
          yang diterbitkan ulang oleh Voetius pada 1646.  Meskipun sudah belajar
                                                    53
          sedikit bahasa Arab dari Erpenius, Voetius biasanya bersandar pada sumber-
          sumber  sekunder,  bukannya  merujuk  teks-teks  yang  dibawa  kembali  dari
          Timur.
   104   105   106   107   108   109   110   111   112   113   114