Page 110 - EBOOK_Sejarah Islam di Nusantara
P. 110

BERBAGAI PANDANGAN FUNDAMENTAL MENGENAI ISLAM HINDIA  —  89


                    Meskipun  sebagian  kalangan  terpelajar  di  Negeri-Negeri  Dataran
               Rendah tetap tidak tahu apa-apa, atau barangkali lebih suka tetap begitu,
               tetapi jelas bahwa bisa ditemukan semakin banyak orang yang bisa menjadi
               perantara bagi VOC untuk menggunakan bahasa-bahasa penduduk pribumi.
               Walaupun  begitu,  yang  tidak  bisa  dijelaskan  oleh  para  mediator  semacam
               ini,  yang  kerap  merupakan  keturunan  dari  perkawinan  campur,  adalah
               kecenderungan keagamaan yang secara teoretis dimiliki bersama oleh para
               penguasa bawahan Belanda dan rakyat mereka yang beraneka ragam yang kini
               tersebar dari Malaka (diambil alih dari Portugis pada 1641) hingga Makassar
               (ditaklukkan pada 1669) dan Kepulauan Maluku (sepenuhnya dikuasai pada
               pengujung 1650-an).
                    Hal serupa juga berlaku untuk perwakilan Gereja Reformasi, dengan
               stok  Injil  berbahasa  Melayu  yang  terus  bertambah,  yang  lebih  memilih
               menggembala jemaah yang tadinya Katolik di bawah bimbingan para pastor
               berbahasa  Melayu.  Salah  seorang  misionaris  semacam  itu  adalah  François
               Valentijn muda, yang sesampai di Batavia pada 1686 terkesan oleh bahasa
               Melayu Isaäc Hellenius. Tak lama setelahnya, dia juga terkesan oleh seorang
               perwira  militer  di  Jepara,  Maurits  van  Happel,  yang  memahami  bahasa
               Jawi dan mengklaim punya peranan, meski diragukan, dalam penangkapan
               Syekh  Yusuf.   Bukti  mengenai  keahlian  kebahasaan  yang  lebih  banyak
                           54
               bisa  dikumpulkan  dari  catatan-catatan  mengenai  harta  milik  Komandan
               Garnisun Batavia, Isaac de Saint Martin (1629–96). Perpustakaan besarnya
               mengoleksi sekitar 89 manuskrip berbahasa Melayu dan Jawa.  Manuskrip-
                                                                    55
               manuskrip inilah yang menjadi tulang punggung koleksi Sekretariat Jenderal
               Batavia. Proses penambahannya ke dalam koleksi digambarkan oleh Melchior
               Leijdecker (1645–1701), yang tugas tetapnya sejak 1691 adalah menghasilkan
               kamus dan Injil berbahasa Melayu yang def nitif.
                    Dengan kata lain, pokok yang lebih luas adalah: pengetahuan tentang
               bahasa merupakan satu hal, pengetahuan tentang agama adalah hal yang lain.
               Meskipun Isaac de Saint Martin secara lokal dikenal sebagai pakar mengenai
               bahasa  dan  kebudayaan  orang-orang  Banten,  dia  memasrahkan  urusan-
               urusan agama kepada herbalis dan pedagang didikan Leiden, Herbert de Jager
               (sekitar 1636–97).  De Jager—yang terkenal mengetahui bahasa Sanskerta,
                               56
               Persia, dan Singhale—dipekerjakan di Batavia pada 1683 untuk memberikan
               pendidikan bahasa Arab dan Melayu guna “memajukan agama Melayu”—
               maksudnya, dalam hal ini, Kristen Protestan. 57
                    Contoh  terakhir  orang  Barat  terpelajar  adalah  seorang  pedagang  dan
               naturalis yang menjelajah lebih jauh ke pedalaman yang berkorespondensi
               dengan de Jager dan Saint Martin mengenai soal-soal botanis. Dia adalah
               Georg  Rumph  (Rumphius,  1627–1702)  yang  kelahiran  Jerman.  Sebagai
               serdadu  VOC,  Rumphius  tiba  di  Kepulauan  Maluku  pada  1652.  Dia
   105   106   107   108   109   110   111   112   113   114   115