Page 105 - EBOOK_Sejarah Islam di Nusantara
P. 105

84  —  KEKUASAAN DALAM PENCARIAN PENGETAHUAN


          berkenaan dengan topik Suf sme f losof s yang dibawa dari Hindia. Kenyataan
          bahwa bahasa Arab tingkat tinggi dikenal di Hindia tampaknya sama-sama
          mengejutkan  bagi  sang  Morisco  dan  para  tuan  rumahnya  yang  terpelajar,
          termasuk Erpenius. 26
              Di  wilayah  Timur  yang  lebih  luas,  terdapat  pemahaman  yang  kian
          mendalam mengenai berbagai budaya dan agama Hindia. Lebih banyak hal
          bisa dikumpulkan dari surat-surat yang dikirimkan ke Tanah Air ketimbang
          dari catatan tercetak, sebuah fenomena yang dapat dikaitkan dengan anggapan
          bahwa  informasi  mengenai  soal-soal  semacam  itu  tidak  begitu  berguna  di
          metropolis  ketimbang  dengan  ketiadaan  pengetahuan  itu  sendiri.   Lagi
                                                                     27
          pula, harus ada orang-orang di lapangan yang memiliki keterampilan untuk
          mempelajari Islam via bahasa-bahasa ekspresinya. Ahmad b. al-Hajari sudah
          bertemu orang Belanda semacam itu, Pieter Maertensz. Dia dikenal pendiam
          dan ditugaskan ke Marakesh pada 1607 karena sudah cukup mempelajari
          bahasa Arab ketika berada di Kepulauan Maluku. 28
              Mengingat pengalamannya, sangat mungkin si Pendiam itu juga tahu
          sedikit bahasa Melayu karena Belanda pastinya tidak berlayar ke Nusantara
          tanpa peta atau bantuan ahli bahasa. Bahasa Melayu sudah ada di wilayah
          publik  jauh  sebelum  Frederick  de  Houtman  mempersembahkan  Spraeck
          ende  Woord-boeck yang dihasilkan dengan susah payah  pada  VOC.  Salah
          seorang penyintas ekspedisi Magellan, Antonio Pigafetta (sekitar 1491–1534),
          menerbitkan daftar kata untuk orang-orang Maluku pada 1520-an (misi ini
          melibatkan seorang penerjemah Melayu yang diambil dari Malaka pada 1511).
          Wajar jika sebuah daftar bermula dengan istilah-istilah Islami seperti “Tuhan”
          (Alla),  “Kristen”  (Naceran),  “Turki”  (Rumno),  “Moor”  (Musulman/Isilam),
          “Kaf r” (Caphre), “Masjid” (Mischit), dan “Pendeta” (Maulana catip mudin). 29
              Seperti yang juga sudah kita lihat, laporan-laporan dua armada pertama
          Belanda juga memasukkan lampiran berbahasa Melayu dan Jawa. De Houtman
          barangkali  ingin  melangkah  lebih  jauh  dan  melampaui  para  pendahulu
          Katolik-nya  seperti  Francis  Xavier  (1506–52),  yang  telah  menerjemahkan
          beberapa katekismus ke bahasa Melayu pada 1548. Pada 1608 de Houtman
          menerjemahkan Cort Begrip karya Aldegonde untuk digunakan di sekolah-
          sekolah yang telah dibukanya di Ambon.  Kemudian, pada 1612 seorang
                                              30
          pedagang di Ambon, Albert Cornelisz Ruyl, menyelesaikan sebuah terjemahan
          Injil Matius ke bahasa Melayu, bersama pengantar dan versi revisi leksikon de
          Houtman; meski ada beberapa keberatan terhadap penggunaannya.  Seorang
                                                                  31
          misionaris  menyatakan  bahwa  mengajarkan  agama  dengan  selain  bahasa
          sendiri—maksudnya  menggunakan  bahasa  Melayu  terhadap  orang-orang
          Ambon—beraroma Katolik. 32
              Caspar Wiltens (aktif 1615–19) yang juga bersikap negatif lebih jauh
          meyakini bahwa orang-orang lokal mengalami kesulitan memahami bahasa
   100   101   102   103   104   105   106   107   108   109   110