Page 123 - EBOOK_Sejarah Islam di Nusantara
P. 123

102  —  KEKUASAAN DALAM PENCARIAN PENGETAHUAN


          sejumlah besar murid—dengan pengetahuan pasif mengenai Al-Quran dan
          teknik-teknik terkait yang dibutuhkan untuk membaca, hanya sedikit lulusan
          yang dianggap melek huruf secara fungsional dalam bahasa Melayu, apalagi
          Arab  atau  Jawa.  Bahkan,  di  pusat-pusat  seperti  Surabaya,  diduga  bahwa
          pendidikan agama hanya terbatas pada hafalan beberapa pasase dari Al-Quran
          dan dasar-dasar baca-tulis Arab.
              Meski  demikian,  laporan-laporan  tersebut  memberikan  beberapa
          perincian yang untuk kali pertama muncul dalam catatan Belanda. Sebuah
          laporan dari Rembang memberikan daftar teks-teks yang diajarkan di berbagai
          “langgar” dan “mesigit” oleh sekitar 32 pendeta. Meski mengikuti praktik
          Jawa dengan mendaftar buku berdasarkan topiknya, bukan berdasarkan judul
          resminya, daftar ini mengonf rmasi informasi dalam Serat Centhini mengenai
          asupan  ilmiah  waktu  itu.   Juga  menjadi  jelas  bahwa  keluarga-keluarga
                                 14
          terkemuka lebih memilih mendidik putra-putra mereka di rumah di bawah
          bimbingan para kepala administrator dan juru tulis mereka. Kadang-kadang
          seorang murid yang menjanjikan dikirim keluar dari rumah, paling sering ke
          pelabuhan Surabaya dan Semarang, tempat penggunaan bahasa Melayu konon
          terbatas pada eselon atas, dan dilanjutkan ke sekolah-sekolah pedalaman yang
          lebih tinggi di Madiun, Ponorogo, dan Yogyakarta.
              Tampaknya  semua  informasi  yang  dikumpulkan  sia-sia  karena
          tanggapannya sekadar diarsipkan dan tak ada tindakan lebih jauh. Nasib yang
          sama menimpa survei lain yang dilaksanakan pada 1831, yang pada dasarnya
          mengulangi  pekerjaan  1819;  meski  kali  ini  empat  belas  administrator
          mengirimkan  data  yang  mencakup  sejumlah  tempat  pengajaran  yang
                      15
          memusingkan.  Lagi-lagi pendidikannya digambarkan sebagai buruk, hanya
          memberikan  pengetahuan  mengenai  teks  yang  sepenuhnya  pasif,  meski
          beberapa tamatan benar-benar mampu melafalkan teks-teks tersebut dengan
          sangat baik. Diduga bahwa kalangan elite lebih suka mendidik putra-putra
          (dan putri-putri) mereka di dalam batas-batas lingkungan istana. Patut dicatat
          bahwa salah satu komisi pribumi yang mengirimkan laporan, melampirkan
          sejumlah  usulan  untuk  pengenalan  persekolahan  bergaya  Barat  dan
          pengawasan seluruh guru dan sekolah, termasuk pesantren, di bawah sebuah
          lembaga yang dikepalai para pejabat muslim yang ditunjuk secara lokal. 16
              Yang  benar-benar  mengejutkan  dalam  laporan-laporan  tersebut,
          setidaknya  dalam  bentuk  ringkasannya,  adalah  bahwa  tak  ada  penyebutan
          eksplisit  apalagi  kekhawatiran  terhadap  Mekah  sebagai  tujuan
          kecendekiawanan.  Pesantren  diasumsikan  melayani  mereka  yang  berminat
          dari  anggota  masyarakat  di  bawah  tingkatan  elite  priayi  yang  semakin
          terbaratkan (dan meluas). Hanya ada sedikit petunjuk mengenai murid yang
          pergi lebih jauh dari rumah, ataupun mengenai jumlah uang yang beredar
                                                           17
          selain sebagai imbalan sukarela untuk membantu sang guru.  Terlepas dari hal
   118   119   120   121   122   123   124   125   126   127   128