Page 128 - EBOOK_Sejarah Islam di Nusantara
P. 128

REZIM-REZIM BARU PENGETAHUAN  —  107


                                              33
               “sekelompok orang Melayu Kristen”.  Raf  es telah menulis kepada Marsden
               pada 1820 bahwa kaum Padri “menyerupai kaum Wahabee dari padang pasir”
               dan telah membuktikan diri sebagai “paling kasar dan sewenang-wenang”,
               meskipun  pemerintahan  mereka  tampaknya  “diperhitungkan  untuk
               melaksanakan reformasi dan perbaikan”. Walaupun begitu, Raf  es mengaku
               kepada sepupunya yang seorang klerikus bahwa dia jauh lebih suka melihat
               ratusan misionaris Kristen diutus ke dataran-dataran tinggi ketimbang orang-
               orang dengan “Koran di satu tangan, dan pedang di tangan yang lain”, yang
               membawa “pengaruh merusak sang nabi palsu dari Mekah”. 34
                    Sumatra  Barat  didera  kekerasan  selama  sekitar  sembilan  belas  tahun
               sebelum campur tangan pertama Belanda ketika para Tuanku dari berbagai
               kubu mengampanyekan penghancuran arena sabung ayam yang dihias dengan
               mewah serta balairung tradisional yang merupakan kebanggaan banyak desa
               lawan-lawan mereka. Dengan kembali berkuasa, Belanda memantapkan diri
               di Padang dan mulai menghadapi kaum Padri pada 1821. Serangan pertama
               ini ditunda ketika mereka menyadari bahwa Inggris tidak akan mendukung.
               Sebuah  perjanjian  pun  ditandatangani  dengan  para  Tuanku  di  Bonjol
               dan  Alahan  Panjang  pada  Maret  1824.   Ketika  berbagai  peristiwa  tidak
                                                  35
               menguntungkan Belanda untuk sementara waktu di Jawa, sebuah perjanjian
               damai yang lebih luas disepakati pada November 1825. Pada masa kelembaman
               inilah Belanda meminta Syekh Jalal al-Din dari Samiang untuk menyiapkan
               ringkasannya mengenai sejarah perang di kalangan orang-orang yang dengan
               santun dirujuknya sebagai “Paderi”.  Namun, penyebutan ini tak lebih dari
                                              36
               sekadar rujukan sambil lalu untuk memungkasi apa yang disebutnya “perang
               agama”, yang dilancarkan para Tuanku terhadap pihak Adat kerajaan sebelum
               berubah menjadi pertarungan di antara mereka sendiri.
                                                              37
                    Pada waktu Jalal al-Din, yang dikira Belanda sebagai putra Tuanku Nan
               Tua,  menulis  laporannya,  perang  internal  sudah  hampir  usai. Terhentinya
               perdagangan  independen  ke  utara  oleh  penarikan  diri  Inggris  (dan  kerja
               sama  mereka  dengan  Belanda),  terdapat  penurunan  yang  sepadan  dalam
               semangat keagamaan yang ditopang oleh pertanian Padri. Ini tidak berlaku
               di perbentengan Bonjol, tempat sang Tuan akan membuka kembali konf ik
               pada 1830-an setelah berdamai dengan faksi Adat. Dia akhirnya dikalahkan
               pada 1837.
                    Bukanlah ironi kecil bahwa salah satu orang Jawa yang dikirim untuk
               memerangi kaum Padri memiliki gelar mentereng “Ali Basa” yang termakan
               hasutan  untuk  membelot  dari  Diponegoro  pada  Oktober  1829.  Sudah
               dinyatakan  bahwa  dengan  kekalahan  Diponegoro,  “bukan  hanya  orang
               Jawa, melainkan setelah itu juga para penguasa kolonial Eropa, yang peduli
               mengenai seperti apa atau akan menjadi seperti apa kaum Muslim Jawa”.
                                                                               38
               Hal  yang  sama  (dan  barangkali  lebih  lagi)  bisa  dikatakan  untuk  Sumatra,
   123   124   125   126   127   128   129   130   131   132   133