Page 132 - EBOOK_Sejarah Islam di Nusantara
P. 132

REZIM-REZIM BARU PENGETAHUAN  —  111


               nahas di Franeker. Dengan Atheneum yang hampir ditutup dan penunjukan
               Taco Roorda di Delft, Veth pindah ke Atheneum Amsterdam pada 1843,
               tempat  dia  menyampaikan  orasi  pembukaannya  mengenai  “Pentingnya
               Praktik Islamologi dan Sejarahnya untuk para Teolog Kristen”. 47
                    Veth  tetap  merupakan  semacam  perkecualian  (yang  terang-terangan)
               di Amsterdam ketika pekerjaan sebenarnya untuk melatih para pejabat yang
               akan dikirim ke Hindia dimulai di Delft pada 1842. Di sana orang-orang
               muda dibekali untuk ditempatkan di berbagai pertambangan, perkebunan,
               dan kantor klerikal. Sementara Institut Jawa berfokus pada kesusastraan Jawa
               sebagai  alat  utama  pejabat  modern,  di  Delft  bidang  ini  menjadi  pelajaran
               penunjang  bagi  pelajaran-pelajaran  yang  lebih  praktis  seperti  mineralogi,
               agronomi,  dan  bacaan  fragmentaris  mengenai  hukum  Romawi  dan  juga
               hukum Islam yang berbahasa Arab dan Melayu.
                    Pada  1844  salah  seorang  anggota  baru  staf  Delft,  Albert  Meursinge
               (1812–50),  yang  mempertahankan  tesis  di  Leiden  mengenai  Tabaqat  al-
               mufassirin  (Generasi-Generasi  para  Mufasir)  karya  al-Suyuti,  menghasilkan
               buku  pandangan  mengenai  hukum  Islam  yang  dimaksudkan  untuk
               digunakan oleh para pejabat Eropa dan orang-orang pribumi “yang maju”.
               Pada  hakikatnya  buku  itu  adalah  sebuah  edisi  dari  karya  ‘Abd  al-Ra’uf,
               Mir’at al-tullab, berasal dari manuskrip Leiden yang dibawa dari Gorontalo,
               Sulawesi.  Penekanan  demikian  disamai  di  Breda.  Setahun  kemudian,  J.J.
               de  Hollander  (1817–86),  yang  menggantikan  Roorda  van  Eijsinga  pada
               1843, menghasilkan panduannya sendiri mengenai bahasa dan kesusastraan
               Melayu, yang disusuli daftar rujukan karya-karya Melayu pada 1856. Dia juga
               menerbitkan serangkaian bunga rampai, yang menyertakan Hikayat Jalal al-
               Din berdasarkan edisi terpisah yang dihasilkan oleh Meursinge pada 1847. 48
                    Meski demikian, bahasa Melayu tetap dipandang rendah. Edisi Hikayat
               Jalal al-Din oleh de Hollander memuat banyak koreksi yang keliru, semisal
               ketika kata berbahasa Arab untuk “zakat” (zakat) yang sudah ditulis dengan
               benar  dipelintir  menjadi  mirip  “rukuk”  (rak‘at).   Asumsinya,  orang-orang
                                                         49
               Melayu tidak akrab dengan bahasa Arab seperti yang dipelajari di Akademi
               Belanda dan bahasa Melayu sama sekali tidak sesuai untuk menangani konsep-
               konsep yang rumit. Jan Pijnappel Gzn. (1822–1901), yang direkrut ke Delft
               pada 1850, memandang bahasa Melayu sebagai bahasa yang sederhana untuk
               pikiran yang sederhana pula. Namun, dia menawarkan sebuah gramatika asal-
               asalan bagi bahasa tersebut untuk mahasiswa tahun kedua dan ketiga karena
               bahasa Melayu “Tinggi” dimasukkan dalam kurikulum mereka. 50
                    Mengingat  para  pejabat  Belanda  akan  mengambil  putusan  terhadap
               rakyat Muslim, timbul keprihatinan yang nyata mengenai pengajaran hukum
               Islam.  Ini  terlihat  dalam  penerjemahan  Tuhfat  al-muhtaj  (Anugerah  untuk
               Orang  yang  Membutuhkan)  karya  al-Haytami  ke  dalam  bahasa  Jawa,  yang
   127   128   129   130   131   132   133   134   135   136   137