Page 129 - EBOOK_Sejarah Islam di Nusantara
P. 129

108  —  KEKUASAAN DALAM PENCARIAN PENGETAHUAN


          yang (kini) Komisioner Jenderal van Sevenhoven bahkan membuat seruan
          langsung kepada orang-orang Dataran Tinggi Padang pada 1833, menyatakan
          mereka sebagai sesama monoteis yang telah disesatkan oleh sebagian guru
          mereka.   Bagaimanapun,  meskipun  negara  kolonial  mungkin  memiliki
                39
          pikiran  yang  samar-samar  untuk  mengubah  atau  mengarahkan  kembali
          pendidikan orang-orang Jawa dan Sumatra, tapi belum cukup peduli untuk
          menyebarkan informasi yang dimilikinya mengenai sistem pendidikan yang
          ada.  Mengumpulkan  informasi  tampak  seperti  hal  yang  lebih  baik  untuk
          dilakukan ketimbang membagikannya. Barangkali penjelasan mengenai hal
          ini berada pada kenyataan bahwa para pakar kolonial benar-benar kewalahan
          menghadapi  limpahan  informasi.  Mencoba  memahami  tumpukan  bahan
          yang baru saja ditambahkan ke perpustakaan mereka setelah begitu banyak
          penaklukan merupakan tugas yang menciutkan nyali.



          MEMBUAT PEMAHAMAN KRISTEN TERHADAP PERPUSTAKAAN-
          PERPUSTAKAAN RAMPASAN
          Belanda  dan  Inggris  menikmati  bagian  mereka  masing-masing  dari
          kemenangan militer. Namun, terlepas dari harapan yang kuat dan doa-doa
          yang  dicetak,  pengkristenan  orang-orang  Muslim  lokal  sangatlah  jarang.
          Bahkan,  “orang-orang  kaf r”  di  kawasan  ini  pun  tidak  berminat.  (Dan,
          peruntungan  orang-orang  Amerika  tidak  lebih  baik.  Setelah  tujuh  tahun
          beroperasi, misi Amerika di Singapura hanya bisa mengkristenkan lima orang
          Tionghoa  sehingga  ditutup  pada  1843.)  Seiring  berlalunya  waktu,  makin
          banyak pejabat yang barangkali sampai pada simpulan yang sama: muslim
          pribumi  itu  keras  kepala,  setia  kepada  ulama-ulama  pelawat  yang  aktif  di
          kalangan mereka. Seperti sudah kita lihat, para pelawat semacam itu (dan para
          pemudik Jawi yang jumlahnya kian banyak) memiliki pengaruh yang makin
          menguat  terhadap  istana-istana  di  Nusantara.  Ini  bisa  dilihat  dari  contoh
          teks-teks  dari  beberapa  perpustakaan  istana  yang  dirampas  sebagai  barang
          pampasan  perang,  dari  Selangor  (1784), Yogyakarta  (1812),  Bone  (1814),
          dan  Palembang,  oleh  Inggris  pada  1812,  dan  kemudian  diambil  kembali
          oleh  Belanda  pada  1821. Namun,  koleksi-koleksi  ini  ditambah  teks-teks
                                40
          non-istana, seperti panduan Suf  yang dirampas saat kejatuhan Bonjol, gagal
          membuat  sebagian  orang  Eropa  yakin  terhadap  komitmen  kaum  Muslim
          Asia Tenggara terhadap agama mereka. Raf  es hanya mengambil beberapa
          syair dan teks berbahasa Jawa milik Sultan Badr al-Din dari Palembang. Dia
          meninggalkan sejumlah besar koleksi berbahasa Arab dan Melayu. Teks-teks
          ini juga diabaikan oleh van Sevenhoven dalam perlakuannya terhadap istana
          tersebut, yang dianggapnya tidak punya kesamaan apa pun dengan komunitas
          Arab yang bermukim di sana. 41
   124   125   126   127   128   129   130   131   132   133   134