Page 130 - EBOOK_Sejarah Islam di Nusantara
P. 130

REZIM-REZIM BARU PENGETAHUAN  —  109


                    Raf  es  dan  van  Sevenhoven  memang  bersikap  lebih  meremehkan,
               sementara  John  Crawfurd  (1783–1868)  beranggapan  bahwa  orang-orang
               Melayu dikenal sebagai muslim “teladan” tetapi toleran. Crawfurd menyebut
               orang-orang  Jawa  sebagai  “yang  paling  longgar  dalam  prinsip  dan  praktik
               mereka”,  karena  “sedikitnya  hubungan  mereka  dengan  kaum  Mohamedan
                     42
               asing”.  Namun, seberapa banyak yang benar-benar dia ketahui mengenai
               hubungan semacam itu patut diragukan karena hubungan demikian kerap
               terjadi di luar Nusantara, di luar ruang lingkup pengetahuan orang-orang
               Eropa.  Bagaimanapun,  bukti  yang  ada  di  hadapan  mereka  menunjukkan
               sebuah pembaruan pendekatan berbasis teks terhadap Islam. Barangkali hal
               ini paling jelas didemonstrasikan oleh koleksi rampasan yang paling menarik,
               yakni  koleksi  dari  Banten,  yang  kesultanannya  dihapus  oleh  Raf  es  pada
               1813. Isinya baru akan digambarkan pada 1833–35 oleh B. Schaap.
                    Schaap, yang belakangan bertugas sebagai Asisten Sekretaris Gubernemen
               di Batavia, kebetulan adalah anggota komite kamus Belanda dan pemilik Hikayat
               Maryam wa-‘Isa. Kebetulan tersebut memberi kita satu lagi contoh bagaimana
               minat terhadap linguistik dan penyebaran agama Kristen tumpang tindih di
               tingkat dinas. Namun, sekali lagi, para pengkaji Islam hanya bisa kecewa dengan
               def nisi singkat Schaap, yang menunjukkan terbatasnya minat (atau mungkin
               sekadar terbatasnya waktu) bagi perincian-perincian yang lebih halus mengenai
               pengetahuan  Islam.  Dia  menggolongkan  sebagian  koleksi  Banten  sebagai
               berkaitan  dengan  “bahasa”,  “kewajiban-kewajiban”,  dan  “agama”  (pada  satu
               contoh  “lagu-lagu  keagamaan  atau  zikir-zikir”).  Namun,  jelas  bahwa  banyak
               dari karya yang dihadapinya itu adalah karya-karya Suf  tingkat lanjut berbahasa
               Arab. Barangkali ini menjelaskan mengapa gambaran pertama mengenai koleksi
               Masyarakat Batavia, yang dibuat oleh pengelolanya, R. Friederich (1817–75),
               berkaitan dengan materi berbahasa Arab. Seperti akan kita lihat, prioritas ini
               sesuai dengan kewajiban pelajar di pusat pendidikan Delft.



               DARI BATAVIA DAN SURAKARTA KE BREDA, DELFT, DAN LEIDEN
               Belanda  di  bawah  pimpinan Willem  II  (berkuasa  1813–40)  mengarahkan
               berbagai usaha untuk membekali para pejabat kolonial dengan pengetahuan
               bahasa Melayu dan Jawa. Jika VOC dahulu mengirimkan para pejabat beserta
               keluarga dan percaya bahwa mereka akan mendapatkan posisi yang kuat dan
               mempelajari bahasa apa pun yang mereka butuhkan ketika mendarat, negara
               baru ini pada akhirnya akan memerlukan generasi lelaki muda dan lajang
               yang diharapkan mampu menggunakan salah satu bahasa utama Nusantara
               sebelum memulai kerja resmi mereka.
                    Setidaknya  begitulah  rencananya.  Di  antara  pelopor  yang  kita  sebut
               Indonesianis adalah P.P. Roorda van Eijsinga (1796–1856). Dia dikirim ke
   125   126   127   128   129   130   131   132   133   134   135