Page 135 - EBOOK_Sejarah Islam di Nusantara
P. 135

114  —  KEKUASAAN DALAM PENCARIAN PENGETAHUAN


          Belanda  untuk  meniru  Inggris  mendirikan  konsuler  di  Hijaz  untuk
          mengetahui bagaimana sebenarnya “para pendeta” yang mengenakan pakaian
          “orang-orang Arab pemenang” di Jawa bisa hidup dengan dibiayai oleh sisa
          populasi. Meskipun menyesali ketidaktahuan dan ketidakmampuan begitu
          banyak cendekiawan Belanda terdahulu yang mengamati Islam di Nusantara,
          dua  tahun  kemudian  Keijzer  menerbitkan  ulang  magnum  opus  Valentijn
          dengan sedikit atau tanpa komentar editorial. 60
              Beragam  sekolah  pelatihan  bukanlah  satu-satunya  situs  di  metropolis
          yang berkepentingan terhadap Hindia Belanda yang berkembang. Pada 1851
          KITLV didirikan di Delft. Sejak 1853 KITLV menerbitkan jurnalnya sendiri,
          Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde van Nederlandsch-Indië (BKI).
          Meskipun terbitan berkala ini merupakan corong pertama yang sejalan dengan
          Delft dan rezim konservatif yang bertanggung jawab atas kelangsungan Tanam
          Paksa, tawaran akademiknya mengenai Islam sama sekali tidak berbeda dari
          muatan yang diklaim lebih liberal dalam Tijdschrift voor Nederlandsch Indië
          (TNI) yang didirikan di Batavia oleh W.R. van Hoëvell; atau terbitan yang
          saat itu masih bergengsi, Tijdschrift voor Indische Taal-, Land- en Volkenkunde
          (TBG), tempat dia juga memiliki pengaruh.
              Pernah dinyatakan bahwa produk pendidikan Delft di tangan para guru
          seperti Roorda dan Keijzer, yang sama-sama tidak punya pengalaman langsung
          mengenai Hindia dan kepedulian apa pun terhadap jangkauan pengetahuan
          di bawah kesusastraan Jawa “tinggi” serta hukum Arab “murni”, umumnya
          merupakan lulusan yang tidak banyak dibekali pengetahuan praktis mengenai
          lapangan  tugasnya  pada  masa  depan.  Kesiapan  para  lulusan  itu  untuk
          menggunakan bahasa Jawa dan Melayu dalam percakapan sehari-hari dengan
          orang-orang Indonesia kira-kira sama seperti kesiapan untuk menggunakan
          bahasa Arab ketika melaksanakan haji. Delft tentu saja punya pencela, baik
          di dalam negeri maupun di Hindia. Akademi selalu mendapatkan ancaman
          penutupan seiring berlalunya dekade demi dekade. Pada akhirnya, ada juga
          gerai-gerai pesaing yang melatih siswa untuk menghadapi ujian dinas Hindia.
              Pada 1864 rezim Liberal baru memindahkan KITLV ke Den Haag dan
          menurunkan Delft menjadi sekolah persiapan serta mendirikan Institut Negeri
          untuk melatih para pejabat Hindia di Leiden. Keduanya hidup berdampingan,
          tetapi bukan di dalam. Universitas yang keramat dan baru menawarkan kuliah
          Bahasa-Bahasa Indonesia pada 1871. Koleksi perpustakaannya dibangun di
          sekitar manuskrip-manuskrip yang dikumpulkan oleh Cornets de Groot.
              Komite yang mengemukakan alasan bagi pendirian institut di Leiden
          meliputi Roorda dan cendekiawan terkenal, Veth, yang kemudian menjadi
          stafnya. Namun, kemampuan mengajar Veth dan keterampilan linguistiknya
          yang setengah-setengah tidak selalu dihargai oleh para tokoh Leiden. Sang
          Arabis yang tengah naik daun, Reinhardt Dozy (1820–83), mengkritik orasi
   130   131   132   133   134   135   136   137   138   139   140