Page 134 - EBOOK_Sejarah Islam di Nusantara
P. 134

REZIM-REZIM BARU PENGETAHUAN  —  113


                    Dalam diskusi selanjutnya, Keijzer mengikuti sebuah peziarahan teoretis
               ke  Jeddah  sebelum  berusaha  merekonstruksi  sisa  perjalanan  tersebut  dari
               karya-karya  yurisprudensi  yang  sangat  dia  kenal,  memberikan  terjemahan
               dari  doa-doa  wajib  yang  diucapkan  pada  setiap  tahapan  ritual.  Namun,
               Keijzer tahu bahwa tuduhannya harus bersandar pada orang seperti halnya
               pada pengetahuan mengenai teks. Oleh karena itu, dia mengajukan alasan
               bagi  pembuatan  sesuatu  yang  mirip  sebuah  gereja  muslim,  dia  percaya
               bahwa  menggunakan  gelar  yang  sangat  Arab  mengasingkan  orang  dari
               identitas  “nasional”  mereka.  Keijzer  memang  bukan  penyokong  ibadah
               haji, mendukung aturan pas 1858 yang keras sebagai usaha mengendalikan
               fanatisme Mekah. Dia memandang Islam sebagai agama yang meninggalkan
               “kegelapannya”  terhadap  orang-orang,  dan  para  haji  sebagai  klerus  yang
               ditugasi memenuhi peti-peti perang.
                    Terlepas dari sikap fanatiknya, Keijzer tetaplah profetik. Dalam sejarah
               Mekah-nya, dia menggambarkan sketsa pergulatan tripartit antara berbagai
               kelompok  kepentingan  klan-klan  pendukung  Syarif,  pemerintah  Utsmani,
               dan gerakan Ibn ‘Abd al-Wahhab. Dia juga memprediksi jika kaum Syarif
               atau Wahhabiyyah yang berhasil unggul, guncangan susulannya pasti akan
               terasa  di  “Hindia  kita”.  Namun,  yang  barangkali  lebih  mengejutkan  bagi
               pembaca modern adalah posisi yang diambil oleh Keijzer dalam kaitannya
               dengan faksi-faksi ini. Di satu sisi, dia tidak punya apa pun selain rasa jijik
               terhadap  orang-orang  Turki  yang  “menyimpang”  dan  kaum  Syarif  yang
               dikukuhkan  oleh  Muhammad  ‘Ali  “sang  pengkhianat”.  Di  sisi  lain,  dia
               mengungkapkan  persetujuan  terhadap  Ibn  ‘Abd  al-Wahhab.  Menurutnya,
               al-Wahhab adalah seorang terpelajar yang membawa orang lebih memahami
               Tuhan dan memberantas banyak “praktik yang tidak manusiawi”, mengubah
               Kota Dir’iyya menjadi “Jenewa-nya Mohammedanisme Protestan”. Dia juga
               bertanya-tanya  apakah  ada  sesuatu  dalam  pandangan  umum  bahwa  kaum
               Padri Sumatra terinspirasi oleh gerakan ini. 57
                    Keijzer  bukanlah  satu-satunya  Orientalis  yang  memiliki  pandangan
               semacam ini. Cendekiawan Prancis, Garcin de Tassy (1794–1878) menyesal
               harus  sampai  pada  simpulan  yang  sama  pada  1830-an. Meski  demikian,
                                                                58
               G.K.  Niemann  (1823–1905),  Subdirektur  Lembaga  Pelatihan  Masyarakat
               Injil Belanda di Rotterdam, menerbitkan sebuah panduan mengenai Islam
               yang  kontennya  mengulangi  banyak  hal  yang  telah  disampaikan  Keijzer.
               Niemann melakukannya dengan pembahasan yang kurang tegas mengenai
               kaum Wahhabi sebagai pembaharu. Dia juga mengajukan keraguan mengenai
               “kisah  umum”  tentang  kaum  Padri  berada  di  bawah  pengaruh  Wahhabi,
               dengan menegaskan bahwa asal usul mereka jauh lebih kabur. 59
                    Bagaimanapun, semua ini menjadi tidak berarti pada 1860-an ketika
               baik gerakan Wahhabi maupun Padri benar-benar lumpuh, Keijzer mendesak
   129   130   131   132   133   134   135   136   137   138   139