Page 170 - EBOOK_Sejarah Islam di Nusantara
P. 170

RENUNGAN-RENUNGAN DARI JAUH ...  —  149


               Inggris ternama, R.N. Cust (1821–1909), dengan senang hati menyatakan
               bahwa Belanda, “Tempat Lahir Kebebasan” dan “Tempat Pengasuhan para
               Cendekiawan”,  adalah  “rekan  kerja”  negerinya  dalam  usaha  “mengenalkan
               Peradaban di kalangan Jutaan Orang”.  Lagi pula, kawasan itu secara khusus
                                                9
               ditandai sebagai wilayah kajian warisan India-nya dan sebagai situs tragedi
               terbaru. Merupakan saat yang sangat memilukan bagi al-Madani ketika para
               delegasi berhenti sejenak untuk mengenang letusan dahsyat Krakatau yang
               terjadi sepuluh hari sebelumnya. 10
                    Mengingat keadaan ini, tawaran Snouck di Amsterdam tak kurang dari
               sebuah intervensi atas nama Islam di Nusantara. Setelah menyampaikan tesisnya
               bahwa  Gujarat  kemungkinan  besar  merupakan  sumber  Islam  di  Hindia,
               makalahnya menjadi serangan yang mendesak agar kaum beriman Nusantara
               dipandang sama muslimnya dengan kaum beriman di tempat-tempat lain.
               Desakan ini juga ditujukan agar para pembaca tidak dibutakan oleh berbagai
               pandangan merendahkan para penulis yang memiliki pengalaman terbatas di
               Nusantara. Snouck terutama sangat tajam ketika berhadapan dengan mereka
               yang mengklaim bahwa Islam di Timur Jauh merupakan baju rombeng yang
               dari sela-selanya “orang-orang Polinesia setengah Hindu” bisa dilihat “dalam
               bentuk sejatinya yang kaf r”. 11
                    Pandangan-pandangan  seperti  ini  juga  bisa  ditemukan  dalam  tulisan
               orang-orang yang (seperti Snouck) tidak pernah ke Hindia, tetapi mengklaim
               tahu hampir segala hal tentang penduduknya. Meski mencatat kehadiran “para
               pendeta”, sekolah, dan masjid di seluruh Nusantara serta mengakui bahwa
               aturan Islam “lebih kurang” diikuti secara keseluruhan, tetapi Veth memiliki
               pandangan umum mengenai penduduk pribumi sebagai muslim superf sial.
               Veth menyuarakan pandangan tersebut dalam diskusinya mengenai “Agama
               dan Kebiasaan-Kebiasaan Keagamaan” yang ditulis untuk katalog Pameran
               Kolonial.   Ambivalensi  Veth  ditegaskan  oleh  persetujuannya  terhadap
                       12
               gerbang bergaya pseudo-Moor. Sikap mendua yang sama ditunjukkan teolog
               terkemuka  Cornelis Tiele  (1830–1902)  dan  Kuenen.  Jika Tiele  menerima
               bahwa  Islam  adalah  sebuah  “agama  dunia”,  Kuenen,  yang  kali  pertama
               merumuskan  gagasan  tersebut,  belakangan  mengubah  haluan.  Kuenen
               menyimpulkan bahwa sebagai sebuah sistem Islam memang sebuah agama
               dunia, tetapi dalam beberapa praksis regionalnya ia lebih tepat digambarkan
               sebagai “agama rakyat”. 13
                    Snouck sendiri—yang diundang Kuenen untuk membaca draf Kuliah
               Hibbert-nya  pada  1882—menunjukkan  bahwa  apa  yang  diduga  sebagai
               baju  rombeng  yang  diadopsi  oleh  bangsa-bangsa  Hindia  lebih  merupakan
               seragam lengkap ketimbang jubah. Lagi pula, kita dengan sama mudahnya
               bisa  menemukan  tradisi  rakyat  yang  sama  di  Timur  Tengah.  Snouck
               bersemangat  untuk  menunjukkan  betapa  karya  Lane  mengenai  Mesir  bisa
   165   166   167   168   169   170   171   172   173   174   175