Page 185 - EBOOK_Sejarah Islam di Nusantara
P. 185

164  —  ORIENTALISME DIGUNAKAN


          Dia mengajar menggunakan “bahasa Serang” seperti tokoh lain di antara para
          mantan gurunya, Kiai Lopang. Daftar tersebut berlanjut menyebut nama para
          pemegang jabatan, baik dalam dewan-dewan yang ditunjuk Belanda maupun
          sebagai penghulu, yang merupakan murid-murid langsung Kiai Samaun, Kiai
          Lopang, atau keduanya, dengan perkecualian Kiai Haji Seram dari Karawangi
          yang belajar di Tegalsari dan Kiai Haji Hasan yang tinggal di Citandun.
              Informasi  demikian  mengonf rmasi  simpulan  Snouck  bahwa  kajian
          teks-teks Islam tidak mesti menciptakan sekelompok orang yang bermusuhan
          terhadap  negara  kolonial.  Beberapa  guru  mungkin  saja  menanamkan
          kecenderungan  antikolonial  di  pesantren-pesantren  yang  terkait  dengan
          kenangan  akan  Diponegoro,  tetapi  yang  lain  berharap  jabatan  semiresmi
          di dalam, atau setidaknya berdekatan dengan, birokrasi kolonial. Patronase
          semacam itu pastinya juga memainkan peranan dalam penunjukan orang-
          orang  yang  dikenal  Snouck,  seperti  Hasan  Mustafa  dari  Garut  (bisa  jadi
          orang  yang  sama  dengan  cendekiawan  berbasis  Citandun  yang  disebut
          Soerianataningrat)  dan  Arsyad  b.  ‘Alwan  dari  Serang,  seorang  teman  dari
          Hijaz yang menjadi korban kekacauan Cilegon pada 1888. 59
              Pendidikan  dasar  dan  patronase  pesantren  membuka  jalan  menuju
          eselon-eselon  rendah  dalam  administrasi  Belanda,  tetapi,  seperti  yang
          diketahui  Snouck,  rute  perjalanan  kecendekiawanan  selanjutnya  menjauh
          dari Batavia menuju pesisir utara, tempat para murid ditawari asupan yang
          lebih kaya dan lebih beragam berupa karya-karya cetakan Singapura. Dalam
          laporan berbahasa Melayu yang dikirimkan dari Kendal pada Maret 1886,
          seorang pejabat pribumi yang telah mengumpulkan salinan Sittin, Saf na, dan
          Asmarakandi, mengemukakan terdapat empat jenis buku yang digunakan di
          pesantren, masing-masing setebal kira-kira 300 halaman. Keempat buku itu
          adalah: (a) karya-karya tafsir, untuk “memahami bahasa Arab tinggi dalam
          koorän”; (b) karya-karya tata bahasa, untuk “memahami makna kisah-kisah
          berbahasa Arab yang digunakan orang-orang yang ditulis dalam koorän”; (c)
          karya-karya  f qh,  untuk  “memahami  dan  menghafalkan  tindakan-tindakan
          hati yang baik”; dan mungkin yang paling penting (d) buku-buku tasawwuf:

              untuk  mengingat  perbuatan-perbuatan  para  nabi  yang  disetujui Tuhan,  atau
              orang-orang yang tidak pernah melakukan dosa, atau untuk melindungi Islam
              dari hal-hal terlarang, seperti berdusta, menyakiti orang lain, mengambil hak
              orang lain atau mencuri, atau menggunakan mantra sihir terhadap orang hidup. 60

              Snouck ingin melampaui gambaran-gambaran yang luas berbasis mata
          pelajaran seperti itu, dan jelas bahwa dia mampu memperoleh informasi lebih
          terperinci dari para pejabat lain. Catatan-catatannya mengenai Karesidenan
          Demak,  misalnya,  merekam  luasnya  penggunaan  Saf na,  Sittin,  dan  Fath
          al-qarib  (Kemenangan  Yang  Mahadekat)  karya  Ibn  Qasim  al-Ghazzi  (w.
   180   181   182   183   184   185   186   187   188   189   190