Page 193 - EBOOK_Sejarah Islam di Nusantara
P. 193

172  —  ORIENTALISME DIGUNAKAN


          saat inilah metode kerja Snouck menjadi jelas bagi para pembaca catatan-
          catatannya. Dia mendokumentasikan kunjungan-kunjungannya ke berbagai
          masjid dan pondok setempat, mencatatkan judul-judul yang diajarkan, nama
          para guru, dan tarekat yang diklaim mereka wakili.
              Pada  beberapa  kasus,  Snouck  bahkan  tidak  perlu  mengajukan
          pertanyaan-pertanyaan  semacam  itu.  Hasan  Mustafa,  misalnya,  sudah
          menyusun  sebuah  daftar  karya-karya  berbahasa  Arab  yang  digunakan  di
          Priangan untuk pemerintah pada November 1889, dengan memilah antara
          buku-buku yang dianggap “lama” (barangkali dalam arti “klasik”) dan kitab
          yang lebih baru semisal karya Nawawi dan risalahnya yang merupakan versi
          syair dari kitab terkenal Waraqat (Lembaran-Lembaran) karya al-Juwayni (w.
          1085). Mengingatkan pada kata-kata pejabat yang telah melaporkan buku-
          buku yang digunakan di Kendal pada 1886, Hasan Mustafa menggambarkan
          karya-karya mengenai Suf sme sebagai ditujukan untuk “melestarikan berbagai
          tindakan baik tubuh dan hati” pembaca. 11
              Lama dan baru adalah tema yang dominan dalam karya Snouck. Dalam
          berbagai  wawancara  dia  kerap  memulainya  dengan  pertanyaan  tentang
          pengaturan waktu dan ritual-ritual penting, lalu berlanjut pada pertanyaan
          mengenai  sifat  pengajaran  di  pesantren-pesantren  sekitar,  dan  akhirnya—
          tetapi  tidak  selalu—tentang  tarekat  yang  diajarkan.  Juga  jelas  bahwa,
          sepanjang proses ini, para syekh dengan senang hati memberikan berbagai
          materi berkat hubungan Snouck dengan komunitas Mekah dan keimanan
          yang masih ditampakkannya. Banyak di antara materi ini adalah teks-teks
          Syattari. Kesediaan para syekh memberikan materi-materi itu meref eksikan
          menurunnya popularitas tarekat Syattari akibat invasi Naqsyabandi. Meski
          tampaknya hanya ada sedikit keengganan untuk menyingkirkan manuskrip-
          manuskrip Syattari di beberapa kota, para penganut Syattari tetap kukuh di
          banyak bagian Jawa.
              Setidaknya, Snouck masih bisa menemukan para guru yang menyandang
          nama tersebut, termasuk Imam Prabu dan Adi Kusuma (Raden Muhammad
          Nur  Allah  Habib  al-Din,  w.  1903).  Namun,  meski  kedua  guru  ini,  yang
          berbasis  di  Cirebon,  mengklaim  nama  Syattari,  Imam  Prabu  menekankan
          bahwa hanya sedikit orang-orang sejenis mereka yang benar-benar melangkah
          lebih  jauh  daripada  menjelaskan  dzikr.   Adi  Kusuma,  yang  mengklaim
                                             12
          keturunan  Sunan  Gunung  Jati,  dan  lebih  menyukai  pakaian  pejabat  Jawa
          ketimbang pakaian kiai, tampaknya hanya menawarkan sedikit sekali kepada
          pengikutnya. Meski tidak pernah mempelajari Al-Quran, dia membimbing
          banyak murid melalui apa yang disebutnya ajaran Syattari; meskipun bukan
          dalam dzikr itu sendiri. Dia memiliki salinan Tanbih al-mashi (Arahan bagi
          yang  Cakap)  karya  al-Sinkili,  tetapi  silsilahnya  tidak  memiliki  kesamaan
          dengan garis silsilah ‘Abd al-Ra’uf dan Muhyi al-Din Karang. Adi Kusuma
   188   189   190   191   192   193   194   195   196   197   198