Page 196 - EBOOK_Sejarah Islam di Nusantara
P. 196

PERJUMPAAN-PERJUMPAAN KOLABORATIF  —  175


               komunalitas Jawi yang langgeng. Zayn al-Din sama sekali bukan cendekiawan
               kelahiran Sumbawa pertama yang menarik minat orang-orang Melayu, Sunda,
               dan  Jawa.  Catatan-catatan  Leiden  Snouck  menyebutkan  beberapa  kiai  di
               sekitar Surabaya yang belajar pada ‘Abd al-Ghani Bima, yang masih dikenang
               sebagai syekh bagi Jawa secara umum. Jalur-jalur yang dicatat Snouck bukan
               sekadar menceritakan berbagai silsilah kecendekiawanan. Jalur-jalur ini juga
               merupakan ikatan darah. Contoh lain dari hubungan semacam ini bisa dilihat
               kembali pada catatan-catatan Snouck dari Garut. Ketika melewati kota itu,
               Snouck bertemu Kiai Mulabaruk, yang pernah belajar di Tegalsari di bawah
               bimbingan  Hasan  Besari,  guru  yang  diperlakukan  dengan  sangat  tidak
               hormat oleh Jan Brumund. Jelas bahwa Mulabaruk mendapati lebih banyak
               hal di Tegalsari ketimbang yang diperlihatkan kepada Brumund. Seperti yang
               dituturkan Hasan Mustafa dan pihak-pihak lain kepada Snouck, Mulabaruk
               mengkhususkan diri dalam tafsir Al-Quran karya al-Baydawi (w. 1286) serta
               karya-karya penting oleh Imam Nawawi dan al-Firuzabadi. Daftar Snouck
               juga memperlihatkan bahwa Mulabaruk mampu menempatkan para mantan
               muridnya  di  seluruh  Priangan  setelah  mereka  menyelesaikan  masa  studi
               lanjutan dari Mekah hingga Madura. 18
                    Banyak lagi daftar semacam itu memenuhi halaman-halaman buku harian
               Snouck ketika dia pergi ke arah timur. Daftar-daftar tersebut memberikan
               wawasan yang sangat mendetail mengenai ikatan perkawinan dan kunjungan
               yang membentuk jaringan pesantren. Namun, meski daftar-daftar ini juga
               menegaskan  bahwa  Khalidiyyah  menanamkan  akar  yang  dalam  di  Jawa,
               keberadaan tarekat-tarekat lain juga terbukti. Kita bisa mendapati penyebutan
               para kiai yang sudah mempelajari Khalwatiyyah di bawah bimbingan ‘Abd al-
               Syakur Surabaya di Mekah, atau Muhammad Maghribi di Madinah. Juga ada
               berbagai indikasi mengenai tantangan yang diajukan oleh para tokoh seperti
               Imampura  dari  Bagelan,  yang  menyebarkan  Syattariyyah  versinya  sendiri
               kepada  ribuan  peziarah  sekitar  1885.  Selain  ini,  terdapat  bukti  mengenai
               penggabungan-penggabungan baru. Dua teks yang disalin untuk Snouck di
               Jawa Barat (salah satunya dimiliki oleh Patih Menes) tampaknya menyatukan
               unsur-unsur Naqsyabandiyyah dan Khalwatiyyah. Keduanya menggunakan
               silsilah nonstandar langsung dari Ahmad al-Qusyasyi ke Muhammad Tahir
               dari  Bogor  dan  sebenarnya  lebih  merupakan  kumpulan  berbagai  teknik
               ketimbang program yang koheren untuk memadukan dua metode praktik
               tarekat. 19
                    Walaupun begitu, penilaian yang samar-samar seperti itu tidak sesuai bagi
               sebuah tarekat yang mengalami kemajuan pesat. Yang secara konsisten dikenali
               Snouck  sebagai  Qadiriyyah,  ternyata  identif kasi  yang  lebih  tepat  adalah
               “Qadiriyyah  wa-Naqsyabandiyyah”  Ahmad  Khatib  Sambas.  Salah  seorang
               perwakilannya yang paling dikenal di Priangan adalah Muhammad Garut,
   191   192   193   194   195   196   197   198   199   200   201