Page 200 - EBOOK_Sejarah Islam di Nusantara
P. 200

PERJUMPAAN-PERJUMPAAN KOLABORATIF  —  179


               yang  dipaksa  meninggalkan  agama  mereka  sendiri,  tidak  berguna  bagi
               Belanda  ketika  butuh  nasihat  mengenai  perkembangan  di  dalam  pondok,
               tempat perkataan guru adalah hukum.
                    Secara  teknis,  hukum  yang  demikian  akan  ditegakkan  dengan  lebih
               kuat jika syekh bersangkutan adalah guru tarekat. Untuk menggambarkan
               poin ini, Snouck membuat wedana-nya mengenang sebuah insiden dari masa
               mudanya ketika seluruh keluarganya menjadi “Syattariyyah”:

                    Pertama-tama  saya  harus  membaca  Fatihah  di  hadapan  guru,  yaitu  surat
                    pertama Koer’an yang diulang-ulang dalam setiap bagian setiap sembahjang;
                    dan kemudian formula lain, bernama tasjahoed, yang juga diucapkan dalam
                    sembahjang, dan yang memuat syahadat kami, di antara hal-hal lain. Setelah itu,
                    sang goeroe menekankan bahwa tidak baik melewatkan lima shalat harian, dan
                    agar saya tidak mengabaikannya selama bulan suci puasa, apalagi karena saya
                    sedang belajar tarèkat. Akhirnya, dia mengajari saya, setelah tiap sembahjang
                    petang, setelah magrib dan ngiso, untuk mengucapkan seratus kali: la iláha illa
                    ‘lláh “tiada tuhan selain Tuhan”, selama itu saya harus duduk dengan cara yang
                    ditentukan secara sangat saksama oleh goeroe. Setelah berlatih dengan goeroe
                    selama tiga hari, tiap hari selama satu jam, saya diizinkan melakukan bé’at atau
                    bèngat. Apa artinya, tidak jelas bagi saya pada saat itu. Setelah pertama-tama
                    mandi dan mengenakan wewangian, saya harus duduk di depan guru dengan
                    postur  yang  diajarkan.  Dia  memegang  secarik  kain  putih  pada  salah  satu
                    sudutnya, sedangkan saya memegang sudutnya yang lain dengan tangan kanan.
                    Dia  kemudian  mengucapkan  beberapa  formula  berbahasa  Arab,  yang  saya
                    ulangi. Kain itu dijatuhkan, doa diucapkan, dan perkara ini pun selesai. Hanya
                    pada tahun-tahun belakangan saya tahu bahwa bèngat sebenarnya adalah pakta
                    suci antara moerid dan goeroe, tempat sang murid berjanji sejak saat itu untuk
                    memperlakukan sang goeroe sebagai perwakilan Allah, dan tidak mengingkari
                    apa pun perintahnya. 26

                    Tentu  saja  Snouck  menunjukkan  berbagai  keberatan  pihak  ortodoks
               terhadap para guru semacam itu, mengklaim bahwa sementara para ulama
               terkemuka menerima bahwa Wali Sanga adalah orang-orang suci, mayoritas
               guru  tarekat  yang  baru  adalah  penipu,  dan,  lebih  jauh,  bahwa  para  guru
               mistisisme  Jawa  sama  sekali  tidak  memiliki  silsilah  yang  sahih.   Dengan
                                                                       27
               mengesampingkan  skeptisisme  yang  jelas  yang  mendasari  narasi  Snouck,
               kita bisa bertanya apakah pandangan metropolitan Snouck sebelumnya yang
               agak  “ortodoks”  mengenai  para  Suf   tarekat  hingga  tingkat  tertentu  telah
               dimoderatkan oleh kontaknya dengan beragam praktisi di Jawa. Berdasarkan
               yang  menyusul  dalam  artikelnya,  simpulannya  pasti  ya  karena  Snouck
               menempatkan di mulut sang wedana kata-kata yang dia sendiri tak mudah
               mengucapkannya:
   195   196   197   198   199   200   201   202   203   204   205