Page 202 - EBOOK_Sejarah Islam di Nusantara
P. 202

PERJUMPAAN-PERJUMPAAN KOLABORATIF  —  181


               depan. Snouck sendiri pada praktiknya pernah mengambil posisi yang sama.
               Usaha van Sandick memberi Snouck sebuah ulasan yang merendahkan dari
               sang Penasihat, yang menulis dengan menyamar sebagai seorang pensiunan
               pejabat. Namun, topeng (dan sarung tangannya) terlepas ketika van Sandick
               berani bertanya berapa banyak “pemimpin agama” Aceh telah tunduk pada
               negara sejak laporan klasik Snouck dari 1894 (lihat di bawah). Karena, sejak
               1892 Snouck telah memainkan peran paling kontroversialnya tepat di garis
               depan kolonialisme Belanda. 30



               SKETSA DARI ACEH DAN LOMBOK
                    Orang-orang  Aceh,  beberapa  ditemani  para  pemuda  penari  (sedati’),  duduk
                    membentuk lingkaran besar di lantai dan berseru lantang “la Kaoula oula Kouata
                    bi Allah”, [sic] yakni: “hanya dengan Tuhan-lah daya dan kekuatan”, kepala-
                    kepala mereka bergerak ke depan dan ke belakang secara teratur, semakin cepat
                    dan cepat, sampai mereka berubah seakan menjadi kubah dari tubuh. Setelah
                    melakukannya  dalam  jumlah  tertentu,  orang-orang  itu  menjulurkan  lengan
                    dan meletakkannya di pundak orang di sebelah kanan dan kiri mereka. Dengan
                    salam  “la  illaha  ill  Allah”  mereka  melemparkan  tubuh  bagian  atas  ke  lantai
                    sebagai satu kesatuan, melakukan gerakan itu layaknya satu orang tetapi ke arah
                    sebaliknya, yakni ke belakang. Senam ini dilakukan dengan kecepatan yang
                    terus meningkat dan seruan tiada henti. Ini adalah tontonan yang fantastik.
                    Dengan  sinar  obor,  sosok-sosok  gelap  diterangi  dengan  tubuh  bagian  atas
                    telanjang, rambut acak-acakan dan wajah menjadi liar karena kelelahan saraf.
                                                                               31
                    (V.S., “Mohammedaansche-godsdienstige broederschappen,” 1891)

               Tak diragukan bahwa Aceh adalah tempat yang menggairahkan pada 1891,
               tetapi tidak aman bagi Belanda. Saat itu delapan belas tahun sejak ekspedisi
               pertama terhadap yang disebut negara bajak laut ini. Dengan begitu banyak
               kegagalan  militer  dan  parlemen  di Tanah  Air,  kebingungan  mengenai  hal
               yang  harus  dilakukan  terhadap  bangsa  yang  benar-benar  menolak  untuk
               menyerah, paling banter yang bisa dilakukan Belanda adalah menciptakan
               “garis konsentrasi” mengitari kawasan pesisir yang mereka kendalikan. Maka,
               dibuatlah  jalur  kereta  yang  menghubungkan  serangkaian  pos  bersenjata
               sepanjang  jalan.  Di  seberang  sana,  terbentang  daerah  pedalaman  tempat
               para pemimpin tradisional dan pemimpin agama bersaing memperebutkan
               pengaruh  dan  senjata.  Apabila  pengunjung  di  dalam  garis  kendali  bisa
               menjumpai praktik Suf  dalam bentuk hiburan publik, di wilayah seberang
               urusannya lebih serius: azimat dan silsilah Suf  dipercaya memberi pemiliknya
               kekebalan dari peluru Belanda serta golok Ambon dan Jawa.
                    Selalu  mencari-cari  kesempatan,  Snouck—yang  hubungannya  sebatas
               dengan mantan mediator Aceh Habib ‘Abd al-Rahman al-Zahir di Mekah—
   197   198   199   200   201   202   203   204   205   206   207