Page 203 - EBOOK_Sejarah Islam di Nusantara
P. 203

182  —  ORIENTALISME DIGUNAKAN


          kali  pertama  menawarkan  untuk  mengulangi  perannya  sebagai  ‘Abd  al-
          Ghaf ar  sewaktu  perjalanan  menuju  Jawa  pada  1889. Tawarannya  ditolak
          karena jasanya dianggap lebih baik digunakan di Jawa. Setelah menyelesaikan
          berbagai  surveinya  mengenai  ulama  dan  pesantren,  Snouck  tetap  bersedia
          mengalihkan perhatian ke Aceh. Dia pun melapor ke Kota Raja pada Juli
          1891. Meskipun belakangan dia menggambarkan tindakan beberapa orang
          senegaranya dengan sedikit ironi, dari surat-surat kepada gurunya, T eodor
          Nöldeke (1836–1930), jelas bahwa Snouck menikmati pengalaman bergerak
          di antara serdadu; terutama persahabatannya dengan J.B. Van Heutsz (1851–
          1924) yang saat itu berpangkat mayor.
              Tugas  resmi  Snouck  adalah  untuk  mendokumentasikan  sebuah
          masyarakat dengan tujuan memberangusnya. Namun, kita bisa dengan mudah
          melihat dalam bukunya T e Achehnese, yang merupakan hasil kunjungannya
          bahwa dia selalu merupakan sang sejarawan dan etnografer yang tertarik untuk
          memahami  bagaimana  sebuah  bangsa  menerima  Islam,  bagaimana  f lsafat
          Suf  menjadi perhatian para cendekiawannya, dan bagaimana para sultannya
          berusaha memonopoli esoteria tarekat-tarekat. Buku itu juga memungkinkan
          Snouck melacak berbagai silsilah Syattari Jawa Barat hingga ke ‘Abd al-Ra’uf
          dan  menerbitkan  banyak  pengamatan  yang  sudah  dilakukannya  di  Jawa,
          meski hanya dalam bentuk catatan kaki tempat praktik Jawa berfungsi sebagai
          kontrol yang digunakan untuk mengukur penyimpangan bentuk-bentuk lain.
          Banyak hal yang ditemukan Snouck—atau diberikan kepadanya—di Aceh
          mengecewakan. Kesejahteraan dan kesarjanaan telah merosot dari tingkatan
          yang  dicapai  di  bawah  kekuasaan  Iskandar  Muda.  Aceh,  di  mata  Snouck,
          adalah negeri yang tengah mengalami kemerosotan. Istana kehilangan sisa-
          sisa terakhir kekayaan dan kekuasaannya dan sang Sultan merosot menjadi
          panglima perang daerah, hanya salah seorang di antara banyak panglima.
              Snouck  mencurahkan  banyak  ruang  dalam  studinya  untuk  apa  yang
          sudah diketahui tentang praksis Suf , yang diyakininya dibawa ke Aceh dari
          India. Kemudian, dia mempertimbangkan Hamzah Fansuri “yang panteistik”,
          Syams al-Din yang “bidah”, dan gema ajaran-ajaran Ahmad al-Qusyasyi yang
          “heterodoks”  yang  mengikuti  jejak  perdebatan  termasyhur  yang  dimulai
          oleh Nur al-Din al-Raniri. Untuk meref eksikan pengalamannya mengenai
          Jawa,  dia  menggambarkan  “kerusakan”  Syattari  sebagai  terjadi  di  bawah
          tantangan tarekat-tarekat “Qadiri dan Naqsyabandi” dari Mekah, meskipun
          dia menganggap para perwakilan Aceh sebagai “tidak penting” dibandingkan
          mereka  yang  ada  di  Jawa  Barat,  atau  Deli  dan  Langkat.  Sebaliknya,  dia
          mengulangi  argumen-argumen  terdahulu  yang  menggemakan  pengamatan
          Lane di Mesir dan tuduhan Sayyid ‘Utsman terhadap musuh-musuhnya, dan
          menyatakan bahwa ritual tarekat kadang-kadang merosot menjadi hiburan
          publik atau, lebih buruk lagi, memberi peluang bagi sebagian orang untuk
   198   199   200   201   202   203   204   205   206   207   208