Page 198 - EBOOK_Sejarah Islam di Nusantara
P. 198

PERJUMPAAN-PERJUMPAAN KOLABORATIF  —  177


               rumah batu, balairung shalat, masjid untuk shalat Jumat, dan asrama bagi
               para murid yang berkunjung. Dari apa yang bisa dikumpulkan Snouck, Talha
               kerap menasihati para pejabat setempat mengenai hukum Islam (dia dikenal
               karena fatwa-fatwanya “yang berguna” mengenai brendi dan poligami). Dia
               juga  merupakan  produk  pendidikan  tarekat  yang  sangat  beragam.  Selama
               sembilan tahun di Mekah, tempat dia belajar kepada Hasan Mustafa, Talha
               memilih mengikatkan diri secara langsung dengan Khalidiyyah melalui ayah
               mertua Sulayman Afandi. Talha juga berbaiat pada Haddadiyyah via Ahmad
               Dahlan  dan  pada  Qadiriyyah  wa-Naqsyabandiyyah-nya  Ahmad  Khatib
               Sambas.  Yang  terakhir  inilah  yang  paling  dikenang  dari  dirinya.  Snouck
               punya kesan bahwa Talha-lah yang membaiat sang Bupati ke dalam tarekat
               tersebut. Snouck merasa yakin meski pihak-pihak lain menegaskan bahwa
               sang Bupati dan keluarganya setia kepada tokoh Syattari, ‘Abd al-‘Aziz dari
               Cirebon, yang juga konon telah mengambil tarekat Khalwatiyyah dari ‘Abd
               al-Syakur Surabaya di Mekah. 23
                    Pastinya  bukan  hanya  mereka  guru  multitarekat.  Muhammad  Ilyas
               dari  Sukapura,  seorang  veteran  yang  dua  puluh  tahun  tinggal  di  Mekah,
               mengajarkan  baik  dzikr  Syattari  maupun  Naqsyabandi  kepada  murid-
               muridnya.  Di  Tegal  terdapat  bukti  serupa  mengenai  transisi  yang  tengah
               berlangsung ketika para guru yang sebelumnya Syattariyyah mulai mengajarkan
               ritus-ritus  Naqsyabandiyyah  dengan  alasan  bahwa  Syattariyyah  sebenarnya
               merupakan basis bagi Naqsyabandiyyah.  Lagi pula, pendekatan multitarekat
                                                 24
               ala  Talha  dan  para  koleganya  bertentangan  dengan  berbagai  pengandaian
               akademis  mengenai  watak  reformisme  “neo-Suf ”  pada  abad  kesembilan
               belas,  dan  ijazah-ijazah  kesarjanaannya  menunjukkan  campuran  yang  juga
               beragam. Di antara manuskrip-manuskripnya ada beberapa teks karya putra
               Sultan Cirebon, termasuk sebuah salinan Tuhfa karya Burhanpuri. Dia juga
               memiliki karya-karya cetakan yang bergengsi, seperti dua volume edisi karya
               Ibrahim al-Jaylani, Insan al-kamil, yang terbit di Kairo pada 1876, dan sebuah
               edisi kumpulan risalah karya Sulayman Afandi yang dilitograf  di Istanbul
               pada 1883–84—kemungkinan besar karya-karya yang sama diperintahkan
               untuk  dikuburkan  di  Mekah.  Ini  sama  sekali  tidak  aneh.  Ilyas  Sukapura
               juga memiliki karya-karya Sulayman Afandi dalam bentuk manuskrip dan
               cetakan. Yang benar-benar membuatnya istimewa adalah Talha mengajarkan
               pendekatan  Syaf ‘i  untuk  f qh  sekaligus  menampilkan  diri  sebagai  seorang
               Hanaf  yang terdidik dan menyatakan bahwa fatwa semua mazhab haruslah
               dipertimbangkan. Hubungan apa yang barangkali dimilikinya dengan kaum
               “Hanaf ” terdahulu di Asia Tenggara, seperti Da’ud dari Sunur dan Muhammad
               dari Silungkang, untuk saat ini tetap menjadi pertanyaan terbuka. Namun,
               bagi  Snouck,  persoalannya  adalah  mengomunikasikan  temuan-temuannya
               kepada publik yang masih khawatir. 25
   193   194   195   196   197   198   199   200   201   202   203