Page 194 - EBOOK_Sejarah Islam di Nusantara
P. 194

PERJUMPAAN-PERJUMPAAN KOLABORATIF  —  173


               juga malu-malu dalam kaitannya dengan kemampuannya sendiri, mengakui
               bahwa  manuskripnya  yang  berharga  lebih  mirip  “pusaka”  sakti  ketimbang
               panduan yang berguna. Tampaknya Snouck sepakat karena dia kembali ke
               halaman  tentang  Cirebon  dan  mencatat  bahwa  kota  itu  dan  Pekalongan
               mempertahankan pengajaran “prinsip-prinsip ilmu pengetahuan lama”. 13
                    Mengenali  bahwa  saat  itu  adalah  masa  transisi,  Snouck  belakangan
               mengingat betapa dia berhasil mendapatkan banyak buku panduan dari kulit
               kayu yang dimiliki ayah dan kakek para guru “ortodoks” yang sesekali merasa
               malu. Salah satu kasus demikian terjadi di Cikalong pada Agustus 1889 ketika
               Kiai Sahwi memberinya lembaran-lembaran buku panduan kakeknya yang
               berisi silsilah Syattari ‘Abd al-Muhyi. Selain silsilah tersebut, semua teksnya
               (‘Awamil, Ajurrumiyya, Sittin, Samarqandi, Miftah, dan Muf d) adalah karya-
               karya yang tetap disukai. Barangkali keadaan manuskrip yang menyedihkan
               membuat Kiai Sahwi bersedia menyerahkan pusakanya. Karena, ada banyak
               karya cetakan baru untuk dimiliki dan murah harganya. 14
                    Akan tetapi, pada umumnya murid-murid dari segala tradisi menuju
               sekolah-sekolah terkenal di pesisir utara, seperti sekolah milik Salih Darat dari
               Semarang,  yang  peraturannya  diberikan  kepada  Snouck.  Rujukan-rujukan
               tersebut kalah pamor jika dibandingkan Surabaya sebagai tujuan keilmuan.
               Ke mana pun Snouck pergi di Jawa Barat—dia menghabiskan lebih banyak
               waktu  di  sana  ketimbang  di  tempat  lain  setelah  menikahi  putri  Penghulu
               Kepala  Ciamis—semakin  jelas  bahwa  sebagian  besar  jalan  mengarah  ke
               Surabaya.  Tampaknya  sebagian  murid  akan  pulang  dengan  puas  karena
               dikenal sebagai santri Surabaya. Lagi pula, kota itu sudah semakna dengan
               ‘Ubayda karena seluruh generasi Kiai Garut belajar di bawah bimbingannya
               di  Sidosremo.  Namun,  Snouck  tidak  tahu  banyak  tentang  ‘Ubayda  selain
               bahwa orang ini terkenal sebagai keturunan Sunan Ampel, yang kemudian
               digantikan seseorang bernama Zubayr setelah kematiannya, barangkali sekitar
               1874. Van den Berg menegaskan bahwa lembaga itu diwariskan ke tangan
               ‘Abd  al-Qahhar  yang  memimpinnya  sampai  kebakaran  melalap  bangunan
               yang sudah reyot pada 1885. 15
                    Menjadi jelas bagi Snouck bahwa pesantren-pesantren seperti Sidosremo,
               bagi  sebagian  orang,  adalah  tempat  antara  untuk  menuju  Mekah,  tempat
               mereka  akan  menghabiskan  waktu  rata-rata  enam  tahun  dan  setelah  itu
               dilanjutkan dengan mempelajari tata bahasa di Madura. Juga menjadi lebih
               jelas bahwa berbagai edisi cetak yang baru adalah hal penting bagi orang-
               orang Jawa. Edisi cetak itu mendorong penggunaan karya-karya berbahasa
               Arab tingkat lanjut ketimbang buku-buku pengantar berbahasa Melayu yang
               lebih disukai orang-orang Syattari. Namun, bahasa Melayu tetap penting di
               Jawa Barat dan sebagian sekolah di pesisir utara. Mendiang ‘Abd al-Ghani
               dari Cikohkol, yang mengklaim keturunan ‘Abd al-Muhyi Pamijahan, konon
   189   190   191   192   193   194   195   196   197   198   199