Page 212 - EBOOK_Sejarah Islam di Nusantara
P. 212

PARA MUFTI BAYANGAN, MODERN KRISTEN  —  191


                    Sementara  itu,  di  Jawa  Barat  terdapat  perlawanan  yang  lebih  besar
               terhadap agama Kristen sebagai unsur kolonialisme. Ini terlihat dari kisah
               Kartawidjaja,  setidaknya  seperti  yang  disajikannya  dalam  autobiograf nya,
               Van  Koran  tot  Bijbel,  yang  ditulis  atas  perintah  A.  Vermeer  dari  Misi
               Djoentikebon. Meski Kartawidjaja mengawali dengan laporan tahun-tahun
               awalnya di pesantren, bab-bab ini dihilangkan oleh para editor yang tidak
               ingin  membingungkan  para  pembaca  dengan  berbagai  catatan  mengenai
               begitu  banyak  “kata  dan  nama  asing”.  Untuk  lebih  menyederhanakannya,
               banyak lawan Kartawidjaja diberi inisial, yang tentu saja hanya memperumit
               identif kasinya. Terlepas dari berbagai sentuhan yang membingungkan, kisah
               Kartawidjaja memberikan wawasan mengenai hubungan antarkomunitas di
               perbatasan Jawa Barat dan Tengah pada peralihan abad. 11
                    Kartawidjaja dilahirkan sekitar 1850 dan meninggal di Djoentikebon 4
               Oktober 1914. Kakeknya, Haji Patih Mas Muhammad Salih, adalah seorang
               pejabat dan guru agama di Indramayu, tempat dia mengajari dua calon bupati.
               Salah  seorangnya  barangkali  adalah  Raden Tumenggong  Soerianataningrat
               dari Lebak, yang laporan-laporannya mengenai pesantren digunakan Snouck
               pada 1885. Muhammad Salih tetap menjadi anggota Landraad lokal hingga
               tua,  sebuah  posisi  yang  memberinya  kontak  berharga  dalam  masyarakat
               Belanda.  Meski  begitu,  selagi  teman-temannya  dikirim  ke  sekolah-sekolah
               Eropa yang baru untuk kalangan elite pribumi, Kartawidjaja muda memulai
               pendidikannya di Pesantren Babakan di Cirebon. Dia diajari oleh seorang
               murid ayahnya yang lain. Namun, tiga bulan kemudian, Kartawidjaja jatuh
               sakit dan pulang, dan tak pernah kembali. Saat itu, ayahnya telah memutuskan
               bahwa Kartawidjaja cukup dididik untuk menjadi pegawai dalam birokrasi
               kolonial.
                    Menurut  Kartawidjaja,  pengetahuannya  mengenai  tulisan  Arab  sama
               sekali  tidak  berguna  untuk  pekerjaan  ini.  Meskipun  hatinya  mengatakan
               dia tetap seorang santri, dia memutuskan untuk belajar aksara “Hollandse”
               dan Jawa.  Pada tahun-tahun antara 1872 dan 1891 dia menduduki banyak
                       12
               jabatan yang terus meningkat hingga ke Demang Luwung Malang. Terlepas
               dari berbagai kemajuan ini, dedikasi total Kartawidjaja terhadap pekerjaan
               tampaknya  menimbulkan  sebuah  krisis  spiritual.  Dia  pun  menarik  diri
               ke  Indramayu.  Di  sana  dia  mengalihkan  perhatian  terhadap  karya-karya
               tafsir  kanonis  yang  dia  punya,  tenggelam  dalam  shalat,  dan  secara  rutin
               mengunjungi pesantren sekitar, yakni pesantren Wot Bogor dan “Kak Sepoeh”
               (barangkali pesantren Syekh Talha), tempat dia menyatakan menerima ritual-
               ritual Naqsyabandiyyah.
                    Tinggal  di  kawasan  Arab  yang  sebagian  besar  merupakan  kota
               Tionghoa,  Kartawidjaja mulai  bersiap  melaksanakan  ibadah haji  di bawah
               bimbingan  dua  sayyid,  yang  segera  dia  tinggalkan,  setelah  memutuskan
   207   208   209   210   211   212   213   214   215   216   217